.










Sabtu, 24 November 2012

Gantungkan Cita-citamu di Jemuran.


Siapa yang gak punya cita-cita? Semua orang bercita-cita. Pasti punya harapan untuk menjadi apa kedepannya. Untuk bagaimana kehidupan kedepannya. Kali ini gue ingin membahas tentang cita-cita gue yang mungkin memiliki makna bagi yang mengerti dan bagi yang tidak mengerti semoga bisa menjadi sebuah hiburan.

Kita mulai dari saat gue SMP... *flashback-ing*

Setelah gue merambah dunia baru alias SMP. Disinilah gue mulai lebih maceuh (aktif, bhs sunda) lagi. Bertemu teman-teman baru bukan suatu hal yang gue kira indah awalnya. Tetapi disini akhirnya gue menemukan sosok-sosok yang luar biasa dan berdampak positif bagi kehidupan gue sampai sekarang. Gue termasuk anak yang alhamdulillah gak bodoh-bodoh amat. Di SMP gue diikut serta-kan mama ke tes  kelas Bilingual dan siapa sangka ternyata masuk. Gue pada awalnya gak mau tapi apa daya tangan tak sampai, jadinya gue masuk ke kelas itu. Asing rasanya. Adaptasi adalah hal yang memuakkan bagi gue. Keluarga aja 1 gak diganti-ganti, kok ini diganti-ganti. Sosialisasi. Adalah alasan kenapa setiap manusia diwajibkan berkenalan dengan setidaknya 1 orang setiap ia memasuki ruang lingkup yang baru. Dan ternyata, kelas ini ga buruk-buruk amat. Gue mulai bertegur sapa dan mulai PDKT dengan satu demi satu siswa disana. Dan akhirnya akrab. Dari situ akhirnya gue menemukan teman-teman yang gue fikir 1 tujuan, 1 topik, dan 1 jalan. Mereka yang sekarang disebut Icons dulunya bernama A.S. (oh God...) alias Anak Seres (help help).

Mari kita bahas sejenak... Kenapa Anak Seres? Kenapa gak nyambung? Kenapa gak GAOL namanya? Gue sendiri pun masih heran kenapa namanya Anak Seres. Kalau gak salah karena gue suka kucing dan dirumah gue memiliki beberapa anak kucing yang salah satunya bernama Seres, salah satu dari kita asa nyeplos dan bilang “karena base camp kita di rumah icha (nama panggilan gue), jadi kita adalah Anak Seres!” dan yang lain langsung menyetujui. Anehnya gue tanpa pikir panjang tertawa dan menyetujui juga. (freak) nah, mulailah kita berdiskusi tentang cita-cita, saat itu ada guru Bimbingan Konseling kelas kami, Ibu Sawitri. Beliau mulai menanyakan pada kami semua apa yang akan kami capai nanti saat kami sudah besar. Gue bilang gue pingin jadi dokter hewan.

Kenapa? Karena gue adalah penyayang binatang. Pernah suatu saat, mas gue belum masuk TK, gue menonton film animasi. Ketika itu hiduplah seekor kelinci putih yang lucu menggemaskan, gue lupa lanjutannya tapi klimaksnya si kelinci itu kehilangan keluarganya dan tak tahu arah jalan pulang... kelinci itu tenggelam dalam lautan luka dalam karena keluarganya hilang entah kemana dan dia pasti merasa seperti butiran debu  yang tak bisa bangkit lagi. Oh tragisnya....
alhasil karena terlalu menyimak film animasi tersebut, gue menangis tersedu-sedu dan langsung dihampiri mama, mama pun bertanya “kenapa?” gue jawab sambil termewek-mewek “itu kelincinya kasi... hwaaaaa, kasi... hwaaaaa, kasi..a..nnn hiks hiks srooot” melankolisnya gue ya dari kecil udah kaya begitu.  Dan gue juga suka kucing, sempat gue pelihara 12 kucling sekaligus di rumah yang membuat geram nenek gue kalau lagi berkunjung ke rumah.

 Kucing pertama gue, gue dapet dari tetangga sebelah yang ngontrak di rumah mama. Namanya om Bayu. Dia bilang, dia mungut kucing itu dari pasar karena lucu dan bersih (oh baiknya.. *terharu). Akhirnya dia mandiin dan piara. Nah suatu saat gue baru pulang sekolah dan ada si kucing kuning kecoklatan itu. Lucu sih, wangi pula (lagi lagi gak nyambung). Gak lama om Bayu keluar dan akhirnya berbincang-bincang seputaran kucing, gue akhirnya meminjam si kucing kuning kecoklatan itu dan membawanya masuk ke rumah. Mama langsung gak bisa santai dan menjejali gue dengan 1001 pertanyaan tentang si kucing kuning kecoklatan itu. Gue jelaskan kalau kucing itu punya om Bayu dan akhirnya mama mengizinkan asal sorenya si kucing kuning kecoklatan itu dipulangkan ke tempat asalnya. Entah bagaimana asal mulanya, entah gue yang menamakan atau om Bayu yang menamakan si kucing kuning kecoklatan itu, tapi yang jelas namanya bukan si kucing kuning kecoklatan tapi Molly. Molly adalah kucing jantan paruh baya yang senantiasa berlugu-lugu, ber unyu-unyu dan gelendotan ke gue, (mungkin karena dia jantan dan gue betina...) bulunya halus (efek shampoo kucing anti rontok yang membuat rambut kucing anda berkilau) tubuhnya harum (efek bedak kucing beraromakan lavender dengan wajah kucing super pesek di labelnya) matanya kuning cerah, dan wajahnya ganteng seperti Primus Yustisio tapi ketumpahan obat penumbuh rambut. Ganteng kan?

Pernah juga gue melihara hamster, gue punya sepasang dulu, namanya gue lupa. Yang jelas gue sayang banget sama mereka berdua meski kalau mau pegang suka takut digigit. Gue sampe bikinin rumah buat mereka dari kardus. Tapi dasar aja gak tau diuntung, mereka gak mau tinggal disitu. Kerja keras dan jerih payah gue.... (sigh).  Pada suatu siang yang terik, gue menengok mereka ke halaman belakang dan mengenaskan................ hamster putih gue sudah tewas tak bernyawa akibat KDRT yang dilakukan si coklat. Gue pun menjerit dan memanggil seisi rumah, heboh atas kematian hamster gue yang putih. Gue langsung menyender di tembok dan merosot seketika, terjongkok dan menangisi keadaan yang terjadi. Oh tuhan... mengapa oh mengapa? Kematian itu begitu tragis, gue Cuma bisa menangis dan menulis di diary ber-gembok gue “telah mati si putih tgl ... bulan... tahun...” persisnya gue lupa tapi formatnya seperti itu.

Itulah yang menjadi alasan mengapa gue ingin menjadi dokter hewan, karena ingin menumpas KDRT antar sesama hewan dan ingin menyelamatkan mereka dari maut yang sudah ingin merenggut.


Tahun kedua di SMP, kembali diadakan konsultasi cita-cita sama guru BK kami yang baru yaitu Ibu Nurlita. Beliau lalu mewanwancarai kami satu per satu. Saat itu gue sudah agak gaul dan semenjak rutinnya gue membawa laptop saat kelas TIK akhirnya berkenalanlah gue dengan situs tak terbatas bernama blogger.com. gue yang pada saat itu buta tentang blog mulai kepo tentang blog, kegunaan, cara kerja dan sebagainya. Setelah ngotak ngatik sendiri diiringi keringat yang tak hentinya bercucuran, gue akhirnya bisa menggunakan blog dengan baik dan benar. Semua curhat gue dari yang paling gak penting sampe yang dramatis ada di blog gue yang sampe sekarang berdiri dengan tegaknya. Tapi kebanyakan gue masukin draft karena... ya, banyak hal.

Lanjut. Saat mulai curhat-curhat di blog dan inget pas kecil dulu gue sering bikin puisi, jadilah gue bilang ke beliau kalau gue memutuskan untuk berhenti jadi dokter hewan yang sudah gue rintis sejak dari SD dan menggantungkan sebuah cita-cita baru yaitu... menjadi seorang penulis. Gue bisa memuntahkan sesuatu, bisa mengungkapkan sesuatu dengan tulisan, baik itu penting atau tidak, positif atau negatif, sedih atau ceria, semuanya bisa gue ungkapkan tanpa memutuskan urat malu gue dengan tulisan. Banyak hal yang bisa gue dapat dari menulis atau mengungkapkan sesuatu melalui paragraf-paragraf ringan. Gue jadi pede untuk berbicara di depan umum dan gak canggung lagi kalau ditanyain soal pendapat atau beradu argumen.

Gue sendiri dulu jarang punya temen yang sebaya. Berhubung nenek gue buka tempat kos-kosan di daerah UNPAD jatinangor, jadi yang mengayom gue dan mengelilingi gue semasa kecil itu mayoritas anak kuliahan. Dan gue sering kali ketakutan melihat tubuh mereka yang besar dan tinggi. Biasanya kakak-kakak perempuan lebih senang memberi “sesuatu” ke gue, kaya boneka, kue, dan pernak-pernih cowo. Sedangkan kakak-kakak cowo biasanya cuma tersenyum dan say hi. Berhubung gue belum masuk sekolah dulu, jadi ya gue gak begitu terbuka sama mereka, gue lebih senang berada di sekitar rumah gue atau gelendotan kaya bayi orang utan sama mama. Sampai akhirnya gue masuk sekolah dan bertemu teman-teman, komunikasi gue lakukan dengan se baik-baiknya sampai sekarang sama orang-orang yang berada di sekitar gue.



Tahun ketiga, alias saat gue masuk kelas 9. Mulai terasa artinya classmate gue saat tahun ini. Banyak banget orang-orang yang bisa mengilhami dan menginspirasi gue sampe gue sekarang kaya gini. Mereka teman-teman terbaik sekaligus keluarga kedua gue. Dimana merekalah yang selalu mau menerima gue ketika gue gatau harus kemana, ketika gue membutuhkan mereka dan tanpa ditanyapun mereka sudah selalu siap sedia berada disamping gue, ketika gue rindu untuk dirindukan dan mereka senantiasa merindukan kehadiran gue diantara gelak tawa dan canda mereka. Indahnya rasa kekeluargaan kami jadi bikin gue seneng foto-foto

Dari kecil sih, hobby gue foto-foto alias narsis itu sudah diukir sama mama. Mama sering banget nyuruh gue pose-pose dan memakai baju-baju macam putri impian yang baik hati *ea. Dari tahun ke tahun, foto-foto gue selalu berpose dengan senyum centil, memeluk boneka, melakukan aktivitas atau berkacak pinggang sambil membawa payung, (kok kaya.... skip.) banyak juga foto gue yang diambil mama saat gue sedang tertidur pulas, bangun tidur? Ada, mau tidur? Juga ada. Untungnya gaada foto gue sebelum mandi, lagi mandi, atau sesudah mandi...

Mama itu gak pernah melewatkan 1 hal kecil pun, semua diabadikan melalui foto. Maka dari itu, seiring dengan pertumbuhan badan, otak, hati dan jiwa gue, gue jadi senang bernarsis ria.

Setelah berkenalan dengan blog, saat kelas 8 juga gue dikenalkan pada beberapa aplikasi baru yaitu photoshop, photoscape dan corel. Seperti biasa, gue selalu suka mengotak-ngatik sesuatu. Mulailah gue mengotak-ngatik aplikasi itu satu persatu. Lama-kelamaan setelah gue mengerti fasilitas yang diberikan, gue pun mencoba mengedit foto gue, dan hasilnya agak alay... dengan warna-warna ngejreng, tulisan-tulisan keriting, bingkai yang tidak lazim, dan emoticon berlebihan bertebaran.

Setelah fasih kurang lebih 3 bulan, kelas 8 gue sudah mahir mengedit foto, tau fungsi dari masing-masing tools di photoshop, photoscape dan corel. Dan kelas 9 ini gue mulai diperkenalkan dengan kamera sejuta umat jaman sekarang. Apa lagi kalau bukan DSLR dan SLR. Tapi berhubung globalisasi sudah menyebar kemana-mana dan sekarang era serba digital, yang berkenalan duluan dengan gue adalah DSLR. Dan untuk yang keberapa kalinya gue gak tau, tapi gue mencoba mengutak-ngatik lagi. Rasa keingin tahuan gue akan sesuatu itu menutupi semua faktor yang mengharuskan gue untuk berbuat tidak. Dan akhirnya, kurang lebih cara menggunakannya tidak jauh berbeda dengan kamera digital. Yang merupakan pengetahuan baru adalah ketika gue mulai tau apa itu lensa makro, lensa mikro, diafragma kamera, fungsi ISO, cara mengubah speed untuk shutternya, dan efek-efek ”cantik“ yang biasa di download di internet. Hahaha.

Pengetahuan gue semakin luas akan kamera dan segala macam tektek bengeknya, gue mulai menjajah toko buku dan mencari buku tentang penggunaan kamera yang baik dan benar. Gue sering cari tahu informasi tentang berbagai macam kamera di internet. Dan setelah kenalan dengan beberapa jenis kamera, gue berkenalan dengan Lomo. Dan gue juga diizinkan untuk membeli salah satu jenis diantara mereka yaitu Diana F+ edelweiss yang limited edition. Asik juga, pikir gue. Karena selain bisa mengabadikan suatu kenangan dengan tulisan, kita juga membutuhkan bukti kongkrit berupa gambaran yang terlukis jelas diatas selembar kertas mengkilap untuk dijadikan sebuah tanda mata atas kejadian yang kita rasa takkan bisa terulang lagi.

Sebagai perempuan, gue juga merasakan bahwa ketika gue sedang berwajah fresh atau bentuk rambut gue yang biasanya sehabis bangun tidur itu tiada tara indahnya, membutuhkan pengabadian. Atau jika kita bepergian ke suatu tempat yang indah semacam pantai, dengan terik matahari yang pas dan membuat warna kulit menjadi sedikit lebih cerah, efek ombak yang sedang menggulung menjadi background dan format foto yang ingin kita abadikan adalah “candid”  dengan kita yang sedang bermain pasir atau menulis nama sang pacar, atau malah mempromosikan username twitter dengan senyum yang dibuat se-tidak dibuat-buatnya, bisa juga sambil melihat jauh ke tengah laut, atau ya... bisa dibayangkan sendiri lah.

Seperti itulah contohnya, dengan narsis, kita juga bisa menilai apakah ada yang berubah dari diri kita atau tidak. Seperti misalnya jika bulan lalu, di kening hanya ada 1 jerawat, maka bukan berikutnya jerawat itu melahirkan bayi-bayi jerawat yang menggemaskan dan minta di pites. Atau mungkin bulan lalu pipi terlihat tirus sedangkan bulan berikutnya terlihat seperti marmut yang sedang menyimpan makanan cadangannya untuk hibernasi.

Bu Nurlita kembali ke kelas kami untuk tahun keduanya ini. Beliau kembali mewawancarai kami satu persatu dan akhirnya tibalah giliran gue. Gue maju. Bu Nurlita bertanya lagi seperti tahun lalu. “mirsha, sekarang masih minat jadi penulis? Atau..” gue jawab “masih bu, tapi..” “kenapa?” katanya, lalu gue jawab “saya pingin jadi penulis yang sekaligus merangkap jadi fotografer, saya tidak hanya ingin mengabadikan sesuatu melalui tulisan saja, tapi melalui foto juga.” Jawab gue panjang lebar. Bu Nurlita hanya tersenyum dan berkata “lanjutkan ya!”. Percakapan pun berakhir .


Dari semuanya gue ngambil kesimpulan kalau memang sosialisasi dan komunikasi itu memang sangat penting baik bagi masa kini apalagi masa depan. Semua harus disiapkan secara matang. Baik dari segi fisik, maupun mentarl. Ilmu yang kita miliki sekarang harus dijadikan modal awal untuk membangun satu cita-cita yang tidak hanya menguntungkan untuk diri sendiri tapi juga menguntungkan bagi orang-orang yang berada di sekitar kita.

Mungkin ada yang bertanya, “sekarang cita-cita kamu apa ca?” apakah akan menjadi dokter hewan lagi? Apakah akan menjadi penulis? Atau apakah akan menjadi seorang fotografer? Atau menjadi seorang dokter hewan yang hobby menulis dan mempunyai usaha fotografi? Bisa jadi.

Tapi hal yang sangat gue cita-citakan sekarang, detik ini, adalah hattam Al-Quran. Dari dulu gue selalu ngaji, tapi kenapa perasaan gak beres-beres. Gue termasuk orang teledor, setiap gue habis baca Quran, gue pasti selalu lupa menandai yang mana yang udah gue baca dan darimana gue harus melanjutkan kembali. Bodohnya, ketika gue berada di posisi itu, gue selalu ngaji dari awal. Jadi siapa yang bego? ....  bener-bener gue cita-citakan nih. Semoga aja, ketika nanti buku ini lahir ke dunia, kelar juga gue baca 30 juz Al-Quran. Aamiin. Cita-cita kedua yang gue ingin wujudkan adalah tidak lain dan tidak bukan... menyelesaikan dan berhasil melahirkan buku ini, yang akhirnya bisa dikonsumsi oleh masyarakat banyak dan menjadi inspirasi atau sekedar flashback mengingat masa-masa muda yang telah lalu.

Cita-cita untuk karir gue kedepannya sih ingin menyelancari dunia entertaiment, tepatnya gue ingin belajar menjadi seorang broadcaster. Menjadi seseorang dibalik layar tampaknya jauh lebih menantang, membutuhkan ide-ide yang tidak biasa, juga lebih berjasa dan berharga daripada menjadi seseorang didepan layar. Tanpa seseorang yang berada dibalik layar, kita tidak akan pernah tahu apa itu sebuah layar, mana belakang dan mana depan, mana seni dan mana hasil karya. Karena dibalik layar kita yang merekayasa, kita yang memuntahkan ide-ide dan kreativitas kita, sementara didepan layar hanya tinggal mengekspresikan dan bergerak sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh seseorang dibalik layar tersebut. Itu sih menurut gue. Intinya, gue ingin membuat atau membantu orang-orang lebih baik dengan ide dan kreativitas yang gue miliki.

Remaja tak luput dari masa-masanya mereka mulai berkenalan dengan suatu sentuhan kasih sayang Tuhan yang diberi nama cinta. Setiap jiwa memiliki hari yang Tuhan limpahkan dengan cinta. Banyak harapan yang bersembunyi dibaliknya. Maka dari itu gue juga memiliki harapan atau cita-cita untuk masalah cinta ini. Cita-cita gue ini pernah gue utarakan ke pelatih vokal gue, kang Farid. Gue pingin bertemu jodoh gue di Ka’bah. Ketika gue sedang berumroh suatu saat nanti. Entah bagaimana caranya biar Tuhan yang menyusun, tapi cita-cita gue yang satu ini ingin sekali gue capai. Bayangannya kalau gue dapet jodoh di sana kan terasa adem. Kaya yang sudah diberi ikhlas sama Tuhan. Entah gue yang terlalu berotak sinetron entah  otak gue yang memang berisi sinetron (loh?), tapi untuk yang satu ini gue selalu berdoa sama Tuhan. Semoga terkabul ya, aamiin.



Entah kenapa, tapi untuk sekarang, gue gak mau menggantungkan cita-cita gue terlalu tinggi sampai ke langit. Karena mulai menyangkut masalah hati dan perasaan, sedikit lebih serius ya.

Loh? Kenapa? Ada apa?

Trauma? Engga. Pernah gagal? Pasti. Tapi hal yang mengurungkan gue menggantungkan cita-cita gue lebih tinggi dan yang pada akhirnya membuat gue menarik cita-cita gue yang tinggi lalu digantungkan di jemuran adalah...
Karena gue pernah jatuh saat gue sedang dalam perjalanan menuju cita-cita gue yang tadinya akan gue bawa lebih tinggi lagi. 

Salah adalah ketika kita terlalu mencita-citakan seseorang itu seperti apa yang kita fikirkan. Saat manusia tidak pernah puas, saat apa yang mereka cita-citakan tercapai dan akhirnya mempunyai cita-cita baru, dan terus seperti itu sampai mereka lelah sendiri dan puas atas apa yang telah mereka dapat.

Dan ya, gue manusia. Khilafnya, buruknya manusia seperti gue adalah tidak pernah puas akan sesuatu hal. Ketika gue mendapatkan cita-cita gue, terbitlah cita-cita baru gue yang lebih tinggi. Apa yang gue cita-citakan lebih tinggi, dan setelah terkabul gue akan memikirkan cita-cita baru dan seterusnya seperti itu. Inilah manusia, egois. Dikasih hati eh, minta jantung. Mungkin kalian yang membaca buku ini juga pernah melakukan hal ini. Manusia memang tak luput dari kesalahan, dan ya, gue manusia, gue juga pasti punya banyak kesalahan, tapi kalau salah terus?
Perasaan gue campur aduk ketika look back dan mengingat betapa buruknya gue. Betapa egoisnya, betapa rakusnya gue untuk bercita-cita...

Di bab ini, gue juga ingin memohon maaf pada orang-orang yang sempat gue jadikan gantungan cita-cita gue. Orang-orang yang selama ini gue cita-citakan lebih dan hanya mampu bertahan sampai mereka benar-benar lelah berdiri, memegangi  cita-cita gue yang harus bisa mereka capai, demi gue.

Maaf karena gue telah menggantungkan cita-cita gue pada kalian.

Satu pesen gue. Jangan terlalu mencita-citakan sesuatu, terlalu menginginkan cita-cita itu tercapai, terlalu bercita-cita yang muluk-muluk, bercita-citalah sewajarnya. Jangan terlalu tinggi menggantungkan cita-cita, tapi jangan diletakkan juga. Gantunglah cita-citamu di jemuran. Tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Cita-cita itu tetap berada di atasmu, kamu tetap harus mendongak kearah atas untuk melihat cita-cita tersebut, capitlah cita-citamu menggunakan penjepit jemuran agar angin tak bisa membuatnya terbang jauh. Saat kamu siap mewujudkan cita cita itu, dengan tidak kesusahan kamu akan bisa mencapai cita-cita itu tanpa perlu merepotkan orang lain untuk menggapaikannya.


 

©2013. with ♥ from Mirsha Shahnaz Azahra.