Siapa yang gak punya
cita-cita? Semua orang bercita-cita. Pasti punya harapan untuk menjadi apa
kedepannya. Untuk bagaimana kehidupan kedepannya. Kali ini gue ingin membahas
tentang cita-cita gue yang mungkin memiliki makna bagi yang mengerti dan bagi
yang tidak mengerti semoga bisa menjadi sebuah hiburan.
Kita mulai dari saat
gue SMP... *flashback-ing*
Setelah gue merambah
dunia baru alias SMP. Disinilah gue mulai lebih maceuh (aktif, bhs sunda) lagi. Bertemu teman-teman baru bukan
suatu hal yang gue kira indah awalnya. Tetapi disini akhirnya gue menemukan
sosok-sosok yang luar biasa dan berdampak positif bagi kehidupan gue sampai
sekarang. Gue termasuk anak yang alhamdulillah gak bodoh-bodoh amat. Di SMP gue
diikut serta-kan mama ke tes kelas
Bilingual dan siapa sangka ternyata masuk. Gue pada awalnya gak mau tapi apa
daya tangan tak sampai, jadinya gue masuk ke kelas itu. Asing rasanya. Adaptasi
adalah hal yang memuakkan bagi gue. Keluarga aja 1 gak diganti-ganti, kok ini
diganti-ganti. Sosialisasi. Adalah alasan kenapa setiap manusia diwajibkan
berkenalan dengan setidaknya 1 orang setiap ia memasuki ruang lingkup yang
baru. Dan ternyata, kelas ini ga buruk-buruk amat. Gue mulai bertegur sapa dan
mulai PDKT dengan satu demi satu siswa disana. Dan akhirnya akrab. Dari situ
akhirnya gue menemukan teman-teman yang gue fikir 1 tujuan, 1 topik, dan 1
jalan. Mereka yang sekarang disebut Icons
dulunya bernama A.S. (oh God...) alias Anak Seres (help help).
Mari kita bahas
sejenak... Kenapa Anak Seres? Kenapa gak nyambung? Kenapa gak GAOL namanya? Gue
sendiri pun masih heran kenapa namanya Anak Seres. Kalau gak salah karena gue
suka kucing dan dirumah gue memiliki beberapa anak kucing yang salah satunya
bernama Seres, salah satu dari kita asa nyeplos dan bilang “karena base camp
kita di rumah icha (nama panggilan gue), jadi kita adalah Anak Seres!” dan yang
lain langsung menyetujui. Anehnya gue tanpa pikir panjang tertawa dan
menyetujui juga. (freak) nah, mulailah kita berdiskusi tentang cita-cita, saat
itu ada guru Bimbingan Konseling kelas kami, Ibu Sawitri. Beliau mulai
menanyakan pada kami semua apa yang akan kami capai nanti saat kami sudah
besar. Gue bilang gue pingin jadi dokter hewan.
Kenapa? Karena gue
adalah penyayang binatang. Pernah suatu saat, mas gue belum masuk TK, gue
menonton film animasi. Ketika itu hiduplah seekor kelinci putih yang lucu
menggemaskan, gue lupa lanjutannya tapi klimaksnya si kelinci itu kehilangan
keluarganya dan tak tahu arah jalan pulang... kelinci itu tenggelam dalam
lautan luka dalam karena keluarganya hilang entah kemana dan dia pasti merasa
seperti butiran debu yang tak bisa
bangkit lagi. Oh tragisnya....
alhasil karena
terlalu menyimak film animasi tersebut, gue menangis tersedu-sedu dan langsung
dihampiri mama, mama pun bertanya “kenapa?” gue jawab sambil termewek-mewek
“itu kelincinya kasi... hwaaaaa, kasi... hwaaaaa, kasi..a..nnn hiks hiks
srooot” melankolisnya gue ya dari kecil udah kaya begitu. Dan gue juga suka kucing, sempat gue pelihara
12 kucling sekaligus di rumah yang membuat geram nenek gue kalau lagi
berkunjung ke rumah.
Kucing pertama gue, gue dapet dari tetangga
sebelah yang ngontrak di rumah mama. Namanya om Bayu. Dia bilang, dia mungut
kucing itu dari pasar karena lucu dan bersih (oh baiknya.. *terharu). Akhirnya
dia mandiin dan piara. Nah suatu saat gue baru pulang sekolah dan ada si kucing
kuning kecoklatan itu. Lucu sih, wangi pula (lagi lagi gak nyambung). Gak lama
om Bayu keluar dan akhirnya berbincang-bincang seputaran kucing, gue akhirnya
meminjam si kucing kuning kecoklatan itu dan membawanya masuk ke rumah. Mama langsung
gak bisa santai dan menjejali gue dengan 1001 pertanyaan tentang si kucing kuning
kecoklatan itu. Gue jelaskan kalau kucing itu punya om Bayu dan akhirnya mama
mengizinkan asal sorenya si kucing kuning kecoklatan itu dipulangkan ke tempat
asalnya. Entah bagaimana asal mulanya, entah gue yang menamakan atau om Bayu
yang menamakan si kucing kuning kecoklatan itu, tapi yang jelas namanya bukan
si kucing kuning kecoklatan tapi Molly. Molly adalah kucing jantan paruh baya
yang senantiasa berlugu-lugu, ber unyu-unyu dan gelendotan ke gue, (mungkin
karena dia jantan dan gue betina...) bulunya halus (efek shampoo kucing anti
rontok yang membuat rambut kucing anda berkilau) tubuhnya harum (efek bedak
kucing beraromakan lavender dengan wajah kucing super pesek di labelnya)
matanya kuning cerah, dan wajahnya ganteng seperti Primus Yustisio tapi
ketumpahan obat penumbuh rambut. Ganteng kan?
Pernah juga gue
melihara hamster, gue punya sepasang dulu, namanya gue lupa. Yang jelas gue
sayang banget sama mereka berdua meski kalau mau pegang suka takut digigit. Gue
sampe bikinin rumah buat mereka dari kardus. Tapi dasar aja gak tau diuntung,
mereka gak mau tinggal disitu. Kerja keras dan jerih payah gue.... (sigh). Pada suatu siang yang terik, gue menengok
mereka ke halaman belakang dan mengenaskan................ hamster putih gue
sudah tewas tak bernyawa akibat KDRT yang dilakukan si coklat. Gue pun menjerit
dan memanggil seisi rumah, heboh atas kematian hamster gue yang putih. Gue
langsung menyender di tembok dan merosot seketika, terjongkok dan menangisi
keadaan yang terjadi. Oh tuhan... mengapa oh mengapa? Kematian itu begitu
tragis, gue Cuma bisa menangis dan menulis di diary ber-gembok gue “telah mati
si putih tgl ... bulan... tahun...” persisnya gue lupa tapi formatnya seperti
itu.
Itulah yang menjadi
alasan mengapa gue ingin menjadi dokter hewan, karena ingin menumpas KDRT antar
sesama hewan dan ingin menyelamatkan mereka dari maut yang sudah ingin
merenggut.
∞
Tahun kedua di SMP,
kembali diadakan konsultasi cita-cita sama guru BK kami yang baru yaitu Ibu
Nurlita. Beliau lalu mewanwancarai kami satu per satu. Saat itu gue sudah agak
gaul dan semenjak rutinnya gue membawa laptop saat kelas TIK akhirnya berkenalanlah
gue dengan situs tak terbatas bernama blogger.com. gue yang pada saat itu buta
tentang blog mulai kepo tentang blog,
kegunaan, cara kerja dan sebagainya. Setelah ngotak ngatik sendiri diiringi
keringat yang tak hentinya bercucuran, gue akhirnya bisa menggunakan blog
dengan baik dan benar. Semua curhat gue dari yang paling gak penting sampe yang
dramatis ada di blog gue yang sampe sekarang berdiri dengan tegaknya. Tapi
kebanyakan gue masukin draft karena... ya, banyak hal.
Lanjut. Saat mulai
curhat-curhat di blog dan inget pas kecil dulu gue sering bikin puisi, jadilah
gue bilang ke beliau kalau gue memutuskan untuk berhenti jadi dokter hewan yang
sudah gue rintis sejak dari SD dan menggantungkan sebuah cita-cita baru
yaitu... menjadi seorang penulis. Gue bisa memuntahkan sesuatu, bisa
mengungkapkan sesuatu dengan tulisan, baik itu penting atau tidak, positif atau
negatif, sedih atau ceria, semuanya bisa gue ungkapkan tanpa memutuskan urat
malu gue dengan tulisan. Banyak hal yang bisa gue dapat dari menulis atau
mengungkapkan sesuatu melalui paragraf-paragraf ringan. Gue jadi pede untuk
berbicara di depan umum dan gak canggung lagi kalau ditanyain soal pendapat
atau beradu argumen.
Gue sendiri dulu
jarang punya temen yang sebaya. Berhubung nenek gue buka tempat kos-kosan di
daerah UNPAD jatinangor, jadi yang mengayom gue dan mengelilingi gue semasa
kecil itu mayoritas anak kuliahan. Dan gue sering kali ketakutan melihat tubuh
mereka yang besar dan tinggi. Biasanya kakak-kakak perempuan lebih senang memberi
“sesuatu” ke gue, kaya boneka, kue, dan pernak-pernih cowo. Sedangkan
kakak-kakak cowo biasanya cuma tersenyum dan say hi. Berhubung gue belum masuk
sekolah dulu, jadi ya gue gak begitu terbuka sama mereka, gue lebih senang
berada di sekitar rumah gue atau gelendotan kaya bayi orang utan sama mama.
Sampai akhirnya gue masuk sekolah dan bertemu teman-teman, komunikasi gue
lakukan dengan se baik-baiknya sampai sekarang sama orang-orang yang berada di
sekitar gue.
∞
Tahun ketiga, alias
saat gue masuk kelas 9. Mulai terasa artinya classmate gue saat tahun ini.
Banyak banget orang-orang yang bisa mengilhami dan menginspirasi gue sampe gue
sekarang kaya gini. Mereka teman-teman terbaik sekaligus keluarga kedua gue.
Dimana merekalah yang selalu mau menerima gue ketika gue gatau harus kemana,
ketika gue membutuhkan mereka dan tanpa ditanyapun mereka sudah selalu siap
sedia berada disamping gue, ketika gue rindu untuk dirindukan dan mereka
senantiasa merindukan kehadiran gue diantara gelak tawa dan canda mereka. Indahnya
rasa kekeluargaan kami jadi bikin gue seneng foto-foto
Dari kecil sih, hobby
gue foto-foto alias narsis itu sudah
diukir sama mama. Mama sering banget nyuruh gue pose-pose dan memakai baju-baju
macam putri impian yang baik hati *ea. Dari tahun ke tahun, foto-foto gue
selalu berpose dengan senyum centil, memeluk boneka, melakukan aktivitas atau
berkacak pinggang sambil membawa payung, (kok kaya.... skip.) banyak juga foto
gue yang diambil mama saat gue sedang tertidur pulas, bangun tidur? Ada, mau tidur?
Juga ada. Untungnya gaada foto gue sebelum mandi, lagi mandi, atau sesudah
mandi...
Mama itu gak pernah
melewatkan 1 hal kecil pun, semua diabadikan melalui foto. Maka dari itu,
seiring dengan pertumbuhan badan, otak, hati dan jiwa gue, gue jadi senang
bernarsis ria.
Setelah berkenalan
dengan blog, saat kelas 8 juga gue dikenalkan pada beberapa aplikasi baru yaitu
photoshop, photoscape dan corel. Seperti biasa, gue selalu suka mengotak-ngatik
sesuatu. Mulailah gue mengotak-ngatik aplikasi itu satu persatu. Lama-kelamaan
setelah gue mengerti fasilitas yang diberikan, gue pun mencoba mengedit foto
gue, dan hasilnya agak alay... dengan warna-warna ngejreng, tulisan-tulisan
keriting, bingkai yang tidak lazim, dan emoticon berlebihan bertebaran.
Setelah fasih kurang
lebih 3 bulan, kelas 8 gue sudah mahir mengedit foto, tau fungsi dari
masing-masing tools di photoshop, photoscape dan corel. Dan kelas 9 ini gue
mulai diperkenalkan dengan kamera sejuta umat jaman sekarang. Apa lagi kalau
bukan DSLR dan SLR. Tapi berhubung globalisasi sudah menyebar kemana-mana dan
sekarang era serba digital, yang berkenalan duluan dengan gue adalah DSLR. Dan
untuk yang keberapa kalinya gue gak tau, tapi gue mencoba mengutak-ngatik lagi.
Rasa keingin tahuan gue akan sesuatu itu menutupi semua faktor yang
mengharuskan gue untuk berbuat tidak. Dan akhirnya, kurang lebih cara
menggunakannya tidak jauh berbeda dengan kamera digital. Yang merupakan
pengetahuan baru adalah ketika gue mulai tau apa itu lensa makro, lensa mikro, diafragma kamera, fungsi ISO, cara mengubah speed untuk shutternya, dan efek-efek ”cantik“ yang biasa di download di internet. Hahaha.
Pengetahuan gue
semakin luas akan kamera dan segala macam tektek bengeknya, gue mulai menjajah
toko buku dan mencari buku tentang penggunaan kamera yang baik dan benar. Gue
sering cari tahu informasi tentang berbagai macam kamera di internet. Dan
setelah kenalan dengan beberapa jenis kamera, gue berkenalan dengan Lomo. Dan
gue juga diizinkan untuk membeli salah satu jenis diantara mereka yaitu Diana
F+ edelweiss yang limited edition. Asik juga, pikir gue. Karena selain bisa
mengabadikan suatu kenangan dengan tulisan, kita juga membutuhkan bukti
kongkrit berupa gambaran yang terlukis jelas diatas selembar kertas mengkilap
untuk dijadikan sebuah tanda mata atas kejadian yang kita rasa takkan bisa
terulang lagi.
Sebagai perempuan,
gue juga merasakan bahwa ketika gue sedang berwajah fresh atau bentuk rambut
gue yang biasanya sehabis bangun tidur itu tiada tara indahnya, membutuhkan
pengabadian. Atau jika kita bepergian ke suatu tempat yang indah semacam
pantai, dengan terik matahari yang pas dan membuat warna kulit menjadi sedikit
lebih cerah, efek ombak yang sedang menggulung menjadi background dan format
foto yang ingin kita abadikan adalah “candid”
dengan kita yang sedang bermain
pasir atau menulis nama sang pacar, atau malah mempromosikan username twitter
dengan senyum yang dibuat se-tidak dibuat-buatnya, bisa juga sambil melihat
jauh ke tengah laut, atau ya... bisa dibayangkan sendiri lah.
Seperti itulah
contohnya, dengan narsis, kita juga bisa menilai apakah ada yang berubah dari
diri kita atau tidak. Seperti misalnya jika bulan lalu, di kening hanya ada 1
jerawat, maka bukan berikutnya jerawat itu melahirkan bayi-bayi jerawat yang
menggemaskan dan minta di pites. Atau mungkin bulan lalu pipi terlihat tirus
sedangkan bulan berikutnya terlihat seperti marmut yang sedang menyimpan
makanan cadangannya untuk hibernasi.
Bu Nurlita kembali ke
kelas kami untuk tahun keduanya ini. Beliau kembali mewawancarai kami satu
persatu dan akhirnya tibalah giliran gue. Gue maju. Bu Nurlita bertanya lagi
seperti tahun lalu. “mirsha, sekarang masih minat jadi penulis? Atau..” gue
jawab “masih bu, tapi..” “kenapa?” katanya, lalu gue jawab “saya pingin jadi
penulis yang sekaligus merangkap jadi fotografer, saya tidak hanya ingin
mengabadikan sesuatu melalui tulisan saja, tapi melalui foto juga.” Jawab gue
panjang lebar. Bu Nurlita hanya tersenyum dan berkata “lanjutkan ya!”.
Percakapan pun berakhir .
Dari semuanya gue
ngambil kesimpulan kalau memang sosialisasi dan komunikasi itu memang sangat penting
baik bagi masa kini apalagi masa depan. Semua harus disiapkan secara matang. Baik
dari segi fisik, maupun mentarl. Ilmu yang kita miliki sekarang harus dijadikan
modal awal untuk membangun satu cita-cita yang tidak hanya menguntungkan untuk
diri sendiri tapi juga menguntungkan bagi orang-orang yang berada di sekitar
kita.
Mungkin ada yang
bertanya, “sekarang cita-cita kamu apa ca?” apakah akan menjadi dokter hewan
lagi? Apakah akan menjadi penulis? Atau apakah akan menjadi seorang fotografer?
Atau menjadi seorang dokter hewan yang hobby menulis dan mempunyai usaha
fotografi? Bisa jadi.
Tapi hal yang sangat
gue cita-citakan sekarang, detik ini, adalah hattam Al-Quran. Dari dulu gue
selalu ngaji, tapi kenapa perasaan gak beres-beres. Gue termasuk orang teledor,
setiap gue habis baca Quran, gue pasti selalu lupa menandai yang mana yang udah
gue baca dan darimana gue harus melanjutkan kembali. Bodohnya, ketika gue
berada di posisi itu, gue selalu ngaji dari awal. Jadi siapa yang bego?
.... bener-bener gue cita-citakan nih.
Semoga aja, ketika nanti buku ini lahir ke dunia, kelar juga gue baca 30 juz
Al-Quran. Aamiin. Cita-cita kedua yang gue ingin wujudkan adalah tidak lain dan
tidak bukan... menyelesaikan dan berhasil melahirkan buku ini, yang akhirnya
bisa dikonsumsi oleh masyarakat banyak dan menjadi inspirasi atau sekedar
flashback mengingat masa-masa muda yang telah lalu.
Cita-cita untuk karir
gue kedepannya sih ingin menyelancari dunia entertaiment, tepatnya gue ingin
belajar menjadi seorang broadcaster. Menjadi seseorang dibalik layar tampaknya
jauh lebih menantang, membutuhkan ide-ide yang tidak biasa, juga lebih berjasa
dan berharga daripada menjadi seseorang didepan layar. Tanpa seseorang yang
berada dibalik layar, kita tidak akan pernah tahu apa itu sebuah layar, mana
belakang dan mana depan, mana seni dan mana hasil karya. Karena dibalik layar
kita yang merekayasa, kita yang memuntahkan ide-ide dan kreativitas kita,
sementara didepan layar hanya tinggal mengekspresikan dan bergerak sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh seseorang dibalik layar tersebut. Itu sih
menurut gue. Intinya, gue ingin membuat atau membantu orang-orang lebih baik dengan
ide dan kreativitas yang gue miliki.
Remaja tak luput dari
masa-masanya mereka mulai berkenalan dengan suatu sentuhan kasih sayang Tuhan
yang diberi nama cinta. Setiap jiwa memiliki hari yang Tuhan limpahkan dengan
cinta. Banyak harapan yang bersembunyi dibaliknya. Maka dari itu gue juga
memiliki harapan atau cita-cita untuk masalah cinta ini. Cita-cita gue ini
pernah gue utarakan ke pelatih vokal gue, kang Farid. Gue pingin bertemu jodoh
gue di Ka’bah. Ketika gue sedang berumroh suatu saat nanti. Entah bagaimana
caranya biar Tuhan yang menyusun, tapi cita-cita gue yang satu ini ingin sekali
gue capai. Bayangannya kalau gue dapet jodoh di sana kan terasa adem. Kaya yang
sudah diberi ikhlas sama Tuhan. Entah gue yang terlalu berotak sinetron entah otak gue yang memang berisi sinetron (loh?),
tapi untuk yang satu ini gue selalu berdoa sama Tuhan. Semoga terkabul ya,
aamiin.
∞
Entah kenapa, tapi
untuk sekarang, gue gak mau menggantungkan cita-cita gue terlalu tinggi sampai
ke langit. Karena mulai menyangkut masalah hati dan perasaan, sedikit lebih
serius ya.
Loh? Kenapa? Ada apa?
Trauma? Engga. Pernah
gagal? Pasti. Tapi hal yang mengurungkan gue menggantungkan cita-cita gue lebih
tinggi dan yang pada akhirnya membuat gue menarik cita-cita gue yang tinggi
lalu digantungkan di jemuran adalah...
Karena gue pernah
jatuh saat gue sedang dalam perjalanan menuju cita-cita gue yang tadinya akan
gue bawa lebih tinggi lagi.
Salah adalah ketika
kita terlalu mencita-citakan seseorang itu seperti apa yang kita fikirkan. Saat
manusia tidak pernah puas, saat apa yang mereka cita-citakan tercapai dan
akhirnya mempunyai cita-cita baru, dan terus seperti itu sampai mereka lelah
sendiri dan puas atas apa yang telah mereka dapat.
Dan ya, gue manusia.
Khilafnya, buruknya manusia seperti gue adalah tidak pernah puas akan sesuatu
hal. Ketika gue mendapatkan cita-cita gue, terbitlah cita-cita baru gue yang
lebih tinggi. Apa yang gue cita-citakan lebih tinggi, dan setelah terkabul gue
akan memikirkan cita-cita baru dan seterusnya seperti itu. Inilah manusia,
egois. Dikasih hati eh, minta jantung. Mungkin kalian yang membaca buku ini
juga pernah melakukan hal ini. Manusia memang tak luput dari kesalahan, dan ya,
gue manusia, gue juga pasti punya banyak kesalahan, tapi kalau salah terus?
Perasaan gue campur
aduk ketika look back dan mengingat
betapa buruknya gue. Betapa egoisnya, betapa rakusnya gue untuk bercita-cita...
Di bab ini, gue juga
ingin memohon maaf pada orang-orang yang sempat gue jadikan gantungan cita-cita
gue. Orang-orang yang selama ini gue cita-citakan lebih dan hanya mampu
bertahan sampai mereka benar-benar lelah berdiri, memegangi cita-cita gue yang harus bisa mereka capai,
demi gue.
Maaf karena gue telah
menggantungkan cita-cita gue pada kalian.
Satu pesen gue.
Jangan terlalu mencita-citakan sesuatu, terlalu menginginkan cita-cita itu
tercapai, terlalu bercita-cita yang muluk-muluk, bercita-citalah sewajarnya.
Jangan terlalu tinggi menggantungkan cita-cita, tapi jangan diletakkan juga.
Gantunglah cita-citamu di jemuran. Tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Cita-cita itu tetap berada di atasmu, kamu tetap harus mendongak kearah atas
untuk melihat cita-cita tersebut, capitlah cita-citamu menggunakan penjepit
jemuran agar angin tak bisa membuatnya terbang jauh. Saat kamu siap mewujudkan
cita cita itu, dengan tidak kesusahan kamu akan bisa mencapai cita-cita itu
tanpa perlu merepotkan orang lain untuk menggapaikannya.
∞