.










Selasa, 06 Mei 2014

Another Pra-Novel.

Ketika mengingatmu, aku jadi seringkali menyesal. Menyesal karena aku yang terlalu tidak sabar untuk menunggu, terlalu buru-buru untuk pergi. Atau hanya sekedar menyesal, tidak mengucapkan selamat tinggal lebih awal.
Yang pada akhirnya membuat aku semakin terjerumus jauh terlampau dalam. Kedalam pusaran "kita" yang tak kunjung berhenti menyedot ingatan sampai suara rongga udara terdengar ketika semuanya sudah habis terserap.


Kamu memang tidak pernah tau sedih dan perihnya semua ini seperti apa, yang kamu hanya tahu, kamu salah, aku luka dan sudah.


Aku terus memutar ulang sesuatu yang sebenarnya tak perlu aku bongkar lagi. Seperti kucing dalam karung yang meraung ingin terlepas keluar harapkan meraup oksigen yang melimpah ruah. 
Semua yang kurasa sudah, cukup, berakhir, dan ku buang jauh ke dasar, seketika meluap bagai lahar panas gunung merapi. Membludak begitu saja, mendadak menguap mencari perhatian, tak mau terlupakan, panas menyecar kedalam hati dan membuatnya jadi naik tergenang di mata.
Sulit terungkapkan bagaimana semua itu terus-terusan ingin diperhatikan, ingin dikuak kembali, ingin diingat lagi dan lagi.

Aku tidak tahu harus menuliskan apa, yang mana, bagian apalagi? Kurasa cukup mudah untukmu menebak apa yang aku pikirkan.

Sebenarnya lelah otakku bekerja mengakali semua kejadian yang tak mau aku anggap benar adanya ini. Terlalu malas untuk kembali didorong masa lalu dan terus tak jelas meloncat-loncat diatas trampolin. Selalu kembali kamu yang memulai, dan sepertinya setelah itu kamu kemudian menyesal karena seharusnya tidak melakukannya. Tapi terlanjur. Dan kamu berusaha untuk menyudahi dengan cara... Melupakan dan minta dilupakan.

Yakin bisa?



Kamu dan otakmu yang kontra. Kamu dan hatimu yang pro. Yang selalu mengelak ketika sebenarnya jawabanmu adalah setuju. Kamu yang selalu mendasari semua dengan otak. Otak. Otak. Berpikir keras bagaimana supaya bisa menang mutlak atas apa yang ingin hati lakukan, tapi sering kali kamu hanya terjun ke pusaran kegagalan. Lagi-lagi kelepasan. Batinmu.

Aku kesal, kadang marah pada diriku sendiri. Jujur, aku selalu terlihat bodoh dalam masalah ini. Selalu bisa luluh dengan semua kejujuranmu yang polos. Entah benar atau tidaknya, akupun ragu. Ragu karena sebenarnya mau, tapi takut. Takut karena aku tahu kamu. Bagaimana kamu.. Seperti apa kamu..
Perasaanmu yang mengalahkan ringannya kapas terombang-ambing di udara bersama tujuan yang entah kemana, membuatku merasa harus benar-benar waspada atas apa yang kamu lontarkan. Tentang perasaanmu yang katanya begitu melulu. Terhadap aku.

Aku tidak mau mati menyesal hanya karena terlambat mengucapkan apa yang ingin aku ucapkan, mengetahui apa yang aku tidak ketahui, menyadari apa yang seharusnya aku sadari. Aku sama sekali tidak peduli dengan sikap menghindarmu atau ketuk palu penolakanmu, tidak peduli. Meskipun sebenarnya ada rasa takut kalau pada akhirnya aku lagi aku lagi yang kembali harus menelan fakta pahit.

Apakah kita yang serumit drama? Atau drama yang menyamai rumitnya kita? Kembalinya kamu yang selalu membuka obrolan tentang “dulu” yang ada kita didalamnya sudah cukup membuatku mual untuk mengingat semua rasa yang pernah dikecap. Ulasan tentang satu kata yang bisa menyedot kembali aku kedalam lubang waktu yang berlari mundur mengikuti alur.

Aku ingat semua, jangan khawatir. Aku hanya berusaha tidak ingat. Bukan tidak mau ingat, tapi terus-terusan mengingatnya akan membuat otakku diketuk-ketuk sampai pecah oleh semua pertanyaan “kenapa” yang tajam.

Mengingatnya membuat semuanya terasa berat. Lelah. Padahal aku bukan kura-kura, tapi seakan menggendong cangkang kosong yang isinya berusaha aku tarik keluar, tapi tetap kosong.
Secangkang penuh angan dan mimpi, rasa sakit bercampur kenyataan yang pahit, egoisme berkolaborasi dengan kebebasan, akulturasi antara cinta dan dunia, reaksi dari segala suasana hati dan pikiran, juga ingatan yang selalu kamu ulang-ulang inti ceritanya, menggulung-gulung di ruang cangkang tanpa udara. Tanpa mau dilupakan. Tanpa setitikpun bentuk padanya, tapi padat maknanya. Membuat semuanya terasa lamban dirasa, padahal sudah sekuat tenaga berlari secara paksa.

Kalau kamu memang mau ditulisi semua keluh kesahku atau segala sesuatu yang berkaitan dengan “dulu” milik kita, jangan cemas. Aku akan menulis itu semua. Percaya atau tidak semua yang aku ucapkan menjadi kenyataan.

Kamu selalu bisa membuka pintu dengan mudah, padahal sudah dikunci rapat-rapat. Memberi efek reaksi yang sama, padahal sudah kadaluarsa. Mencairkan dengan sinar hangat yang sama, padahal sudah lama beku. Menerbangkan kabut tebal seketika, membuka celah pada ruang sesak yang suram. Seperti membangkitkan kembali detak jantung yang berhenti, dengan irama yang sama, ketukan yang sama, tak pernah ada perubahan walau sudah divonis mati dan tak mau dihidupkan lagi.

Aku bingung, sebenarnya diantara kita siapa yang salah?
Dengan semua kejadian yang tidak pernah ada habisnya ini, aku selalu merasa kita berdua adalah dua orang bodoh yang selalu mengikat kuat perasaan, saling tarik-menarik, tapi tak kunjung kendur. Keduanya memang sangat bodoh, keras kepala. Saling tidak mau melepaskan apa yang mereka jalin sekarang. Tidak mau keluar jalur dan kecipratan caci maki alam semesta. Dua orang bodoh yang sama-sama mengaku suka, tapi enggan bersatu. Enggan beranjak memecah balon-balon zona yang sedang nyaman-nyamannya menjadi bulat. Padahal dua orang bodoh itu berdiri bersebrangan, dalam pijakan kaki lurus sejajar, mengurung diri dalam sangkar tanpa jeruji segarispun.

Bodoh.

Dunia memang kejam kalau sudah mencibir. Melecehkan ungkapan yang telah terlontar dari mulutmu. Jika kau tahu apa maksudku. Ya... prinsipmu itu. Terlalu kelu lidahmu untuk mengatakan yang sejujurnya bahwa memang pada kenyataannya masa lalumu tidak buruk dan kamu kadang mempunyai harapan yang besar untuk kembali. Tapi kukuhmu tidak membiarkan itu. Seolah menentang garis lurus yang tak boleh jadi bengkok sekuku pun.
Kamu memang tidak pernah mau mengaku. Tapi aku tahu kamu juga menyesal. Menahan sesak dan mencoba lupa. Menguatkan diri untuk tetap bertingkah mulus tanpa ada cacat. Tapi bayanganku ada dibelakang, dan kamu selalu menoleh untuk itu. Tanpa harus berkelok pun sebenarnya kamu bisa. Tapi martabatmu bagai memberi lampu sorot dari arah depan, mengajakmu secara kasat untuk berhenti menggunakan hati.

Kembali ke dua orang bodoh yang sama-sama menyiksa diri. Giliran aku yang juga tak mau kalah. Benar adanya ingin membuktikan bahwa aku bisa, mau, maju, tanpa kamu. Seolah mencari sosok yang baru, yang bisa jadi apa mauku. Sayang mereka sama... Tidak beda sepertimu.

Iya.
Ucapan yang menjadi kenyataan itu adalah kamu, dengan kebedaanmu itu. Kamu memang beda. Jauh berbeda dari semua rasa yang pernah aku cicipi. Semua panorama yang pernah aku tatap. Semua benda yang pernah aku genggam. Semua wewangian yang pernah aku sesap. Semua rumah yang pernah aku pijak. Semua hati yang pernah aku kasihi.

Tak berbentuk dan berwujud. Begitu saja mengalir bolak-balik menyusuri arus pikiranku. Kamu itu apa, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kamu memang benar berbeda. Entah bagaimana mendeskripsikannya.. kamu seperti gumpalan yang bisa berubah-rubah setiap saat. Detik ini datang membuat senang, kemudian pergi membawa hati. Lebih rumit sampai tak terdeskripsikan, lebih mudah sampai bingung mau mendeskripsikan yang mana.

Menarik bukan? Mengulas kembali sesuatu yang dianggap sudah mati padahal belum satu napas pun ia lewati.

Aku tahu sekarang kamu sedang terkaget membaca ini, mungkin setuju, malu, mungkin tahu, mungkin mengiyakan seratus persen benar adanya. Atau malah mungkin merasa tersinggung, sinis, merasa tidak seperti itu, dan seolah tergebrak tanda ketidak setujuan. Semuanya terserah padamu. Apa yang aku rasa, aku lihat, aku dengar, dari semua kubikel-kubikel kecil disekitarku melemparkan kertas-kertas isyarat itu. Satu persatu muncul dan terlintas begitu saja. Maaf kalau semua yang aku tahu, dan aku rasa, tidak selaras dengan apa yang kamu tahu, dan kamu rasa.

Tapi kukira... sedikit banyaknya, kita sama.


 -----

0 comments:

Posting Komentar

 

©2013. with ♥ from Mirsha Shahnaz Azahra.