Seketika aku jadi merasa berdosa dan sepertinya telah melakukan sesuatu yang
salah besar... (lagi)
Aku kini terikat dengan entah siapa hati ku pun tidak
menggubris. Keinginan semata untuk mempunyai pendamping yang bisa memberikan
kenyamanan dan memfasilitasi apapun yang aku butuhkan, kenyataannya jauh dari
kenyataan. Bukannya aku tidak mensyukuri, benar apa kata orang... waktu yang
kusesap terlalu cepat bersamanya.
Aku masih buta akan sosok ini. Siapa dia dan darimana
asalnya aku tidak paham. Keadaan memaksaku untuk memilih pilihan diantara
pilihan lain yang tidak muncul. Keinginan untuk bertahan karena malu pada dunia aku
pegang erat kini. Aku malu atas keputusan yang telah aku buat. Atas pilihan
yang aku tunjuk. Aku salah. Salah besar sepertinya.
Aku tak tahu kenapa hidup bisa menjadi sesulit ini karena
hal sesepele ini. Otakku rasanya tak mau berhenti berputar memainkan segala
bentuk kesalahan yang aku perbuat, mempermainkannya seolah memang aku pantas
diobok-obok seperti ikan hias incaran para bocah berandal.
Aku merasa sangat salah telah menuruti semua apa kata
nafsuku yang memburu untuk mengikat seseorang dengan angan yang terlampau jauh
akan sosok baru yang bisa lebih baik dari sebelumnya. Ternyata jauh lebih parah
dari apa yang aku duga. Lagi-lagi sepertinya aku salah langkah.
Tidak dipungkiri kalau aku mencintainya lebih dari apapun
saat ini, tapi cinta ini untuknya tidak senyata itu. Mungkin memang berjumlah
banyak, tapi tak satupun dari partikelnya jelas berbentuk kasih sayang. Dunia
memang selalu menipu manusia dengan mengasatkan mata kepala. Dengan giuran
kebahagian duniawi yang begitu menusuk ke dasar perasaan. Memberikan secercah
fatamorgana yang lekat dengan mata, tapi tak bisa teraih dengan tangan. Hanya
daya khayal yang mampu merajuk. Fana.
Aku masih belum tau kenapa aku mencintainya saat ini. Aku
kira, aku mencintainya karena aku sedang menginginkan seseorang untuk aku
cintai. Aku kesepian. Aku kehilangan. Sosok-sosok yang aku rindukan telah
menemukan kebahagiaannya masing-masing. Dengan kekongkritan atau tidak, aku
tidak bisa membedakan.. yang terlihat olehku hanya satu persatu dari mereka
yang hilang ditelan oleh kehidupan baru yang tercipta bersama hawa lainnya.
Aku ingin dengan lapang mencintainya. Dengan partikel dan
atom yang utuh dalam wujud nyata berbentuk kasih sayang yang sesungguhnya.
Ingin benar-benar merindukannya, bukan sekedar hanya butuh pelukan atau
dorongan motivasi yang mengada-ada. Bukan karena aku sedang ingin mencintai dan
ingin dicintai, melainkan tanpa alasan, tanpa batasan, tanpa keraguan, aku
ingin bersamanya karena memang benar cinta itu ada.
----
----
Kembalinya masa lalu yang menciptakan suasana ragu semakin
membuatku bingung. Terus terang... aku bingung. Goyah pada diriku sendiri.
Benar adanya bahwa aku tidak percaya atas apa yang aku tuju. Tujuan hatiku tak
jelas. Rabun sampai ia sangat gelap. Abu-abu membelit misterius, berkabut
menyelimuti keikhlasan yang berubah haluan menjadi ambisi. Salah paham dengan
semua yang terjadi di dunia ini membuat isi hatiku terkoyak-koyak. Melaju tanpa
alur kesana kemari mencari-cari siapa yang sebenarnya aku inginkan.
Kembali aku diterpa keadaan gusar. Apakan benar aku salah
pilih? Ataukan benar pilihanku, tapi salah waktu? Rencana Tuhan memang kadang
mengejutkan. Dan kadang tak begitu aku bisa terima dengan leluasa. Keluh kesah
kadang aku lontarkan, ketika keputusanNya adalah satu hal yang sama sekali
tidak ada kemiripan dengan apa yang aku prediksikan. Tuhan kadang memang kejam
dalam urusan mengoyak hati dan iman manusia, tapi itulah keadilanNya dalam memberi
cobaan.
Semakin goyah kepercayaan ini terhadap kasih sayang yang
samar-samar aku coba perjelas. Masa lalu memberiku ruang untuk melangkah
mundur. Mengingat tentang keadaan dibelakang yang nyatanya harus aku akui lebih
baik dari masa sekarang. Aku ingin mundur. Lepas dari semua kehendak yang aku
tak suka ini. Kembali kebelakang dan mencoba memperbaiki apa yang salah.
Melayang-layang diudara bagaikan setitik debu yang kasat
mata. Tak terlihat, bahkan tak tersentuh oleh kepekaan indera manusia. Tapi aku
tahu bahwa itu ada. Itu... disitu.. selalu disitu... selalu menyebut namaku
dalam rasa sesal yang tiada berakhirnya ia ucapkan.
Tapi tunggu...
Tunggu... aku melihat masa depanku, dan melihat masa
depanmu. Disana. Masing-masing disamping kita. Kita... tidak bisa.
Sama sama terjebak dalam masa depan yang memborgol . bisa
saja direntang sampai putus, tapi siapa mau hancur. Aku dan masa depanku,
masalaluku dan masadepannya. Bergandeng tak tentu, mengaku satu tapi semua
hanya bual. Bohong. Bukan. Kita yang satu. Bukan aku-masadepanku, ataupun
masalaluku-masadepannya. Harusnya kita.
Beranjak dari segala romansa pilu ini. Katamu. Seandainya bisa, aku juga ingin berhenti. Tapi nyatanya tidak bisa. Harus
bergerak maju dijalan masing-masing yang tak tahu sampai kapan harus kita
lakoni. Terlalu kuat mata ini saling menatap tajam. Terlalu erat tangan ini
saling mencoba melepaskan. Tak bisa. Tak semudah itu berpisah dengan kesan masa
lalu yang buruk, yang mengaku buruk, dan berharap menjadi sesuatu yang bukan
lagi buruk. Tapi salah waktu, salah.
Terlanjur basah tercebur dengan separuh hati yang lain.
Separuh yang bukan separuh. Separuh yang tidak bisa dikatakan nyata, tapi bukan
juga rekayasa. Terpaksa harus memerankan peran masing-masing dengan baik.
Sehingga dimata jagat raya, kita luar biasa. Tampak tak ada gores setitikpun
menyongsong hari bersama masa depan masing-masing yang baru. Tapi sama-sama
teriris pilu saling memandang membayangkan kalau itu kami yang melaju.
Entah sampai kapan akhir dari masa lalu ini terkuak.
Memberantas semua kisah pahit dan manis yang tak kunjung mendeteksi rasa nyata
hasil perbuatan semua kerancuan ini. Siapa yang berhenti memanggil, siapa yang
berhenti menarik, siapa yang berhenti berusaha, siapa yang berhenti jatuh
cinta. Siapa? Belum tahu.
Kapan? Tidak tahu.
Tak pernah harus selalu berbicara. Dengan fasih koneksi yang
menghantarkan. Berhenti atau tidaknya bisa dirasakan. Tapi sejauh ini garis itu
belum terputus. Guncangan itu belum terbujur kaku. Terang itu tak pernah
berhenti memancar. Selayak mercusuar yang selalu terjaga, gelapnya dunia,
pejamnya mata, dan matinya rasa, tak pernah sekuat ini mendeteksi perasaan yang
ditimbun begitu dalam. Karena seberapa dalampun semua itu terkubur, kita saling
membangkitkan tak mau mati.
ps: menulis tercepat. rekor 2 halaman dalam waktu 8 menit. hebat.
0 comments:
Posting Komentar