.










Selasa, 06 Mei 2014

Another Pra-Novel.

Ketika mengingatmu, aku jadi seringkali menyesal. Menyesal karena aku yang terlalu tidak sabar untuk menunggu, terlalu buru-buru untuk pergi. Atau hanya sekedar menyesal, tidak mengucapkan selamat tinggal lebih awal.
Yang pada akhirnya membuat aku semakin terjerumus jauh terlampau dalam. Kedalam pusaran "kita" yang tak kunjung berhenti menyedot ingatan sampai suara rongga udara terdengar ketika semuanya sudah habis terserap.


Kamu memang tidak pernah tau sedih dan perihnya semua ini seperti apa, yang kamu hanya tahu, kamu salah, aku luka dan sudah.


Aku terus memutar ulang sesuatu yang sebenarnya tak perlu aku bongkar lagi. Seperti kucing dalam karung yang meraung ingin terlepas keluar harapkan meraup oksigen yang melimpah ruah. 
Semua yang kurasa sudah, cukup, berakhir, dan ku buang jauh ke dasar, seketika meluap bagai lahar panas gunung merapi. Membludak begitu saja, mendadak menguap mencari perhatian, tak mau terlupakan, panas menyecar kedalam hati dan membuatnya jadi naik tergenang di mata.
Sulit terungkapkan bagaimana semua itu terus-terusan ingin diperhatikan, ingin dikuak kembali, ingin diingat lagi dan lagi.

Aku tidak tahu harus menuliskan apa, yang mana, bagian apalagi? Kurasa cukup mudah untukmu menebak apa yang aku pikirkan.

Sebenarnya lelah otakku bekerja mengakali semua kejadian yang tak mau aku anggap benar adanya ini. Terlalu malas untuk kembali didorong masa lalu dan terus tak jelas meloncat-loncat diatas trampolin. Selalu kembali kamu yang memulai, dan sepertinya setelah itu kamu kemudian menyesal karena seharusnya tidak melakukannya. Tapi terlanjur. Dan kamu berusaha untuk menyudahi dengan cara... Melupakan dan minta dilupakan.

Yakin bisa?



Kamu dan otakmu yang kontra. Kamu dan hatimu yang pro. Yang selalu mengelak ketika sebenarnya jawabanmu adalah setuju. Kamu yang selalu mendasari semua dengan otak. Otak. Otak. Berpikir keras bagaimana supaya bisa menang mutlak atas apa yang ingin hati lakukan, tapi sering kali kamu hanya terjun ke pusaran kegagalan. Lagi-lagi kelepasan. Batinmu.

Aku kesal, kadang marah pada diriku sendiri. Jujur, aku selalu terlihat bodoh dalam masalah ini. Selalu bisa luluh dengan semua kejujuranmu yang polos. Entah benar atau tidaknya, akupun ragu. Ragu karena sebenarnya mau, tapi takut. Takut karena aku tahu kamu. Bagaimana kamu.. Seperti apa kamu..
Perasaanmu yang mengalahkan ringannya kapas terombang-ambing di udara bersama tujuan yang entah kemana, membuatku merasa harus benar-benar waspada atas apa yang kamu lontarkan. Tentang perasaanmu yang katanya begitu melulu. Terhadap aku.

Aku tidak mau mati menyesal hanya karena terlambat mengucapkan apa yang ingin aku ucapkan, mengetahui apa yang aku tidak ketahui, menyadari apa yang seharusnya aku sadari. Aku sama sekali tidak peduli dengan sikap menghindarmu atau ketuk palu penolakanmu, tidak peduli. Meskipun sebenarnya ada rasa takut kalau pada akhirnya aku lagi aku lagi yang kembali harus menelan fakta pahit.

Apakah kita yang serumit drama? Atau drama yang menyamai rumitnya kita? Kembalinya kamu yang selalu membuka obrolan tentang “dulu” yang ada kita didalamnya sudah cukup membuatku mual untuk mengingat semua rasa yang pernah dikecap. Ulasan tentang satu kata yang bisa menyedot kembali aku kedalam lubang waktu yang berlari mundur mengikuti alur.

Aku ingat semua, jangan khawatir. Aku hanya berusaha tidak ingat. Bukan tidak mau ingat, tapi terus-terusan mengingatnya akan membuat otakku diketuk-ketuk sampai pecah oleh semua pertanyaan “kenapa” yang tajam.

Mengingatnya membuat semuanya terasa berat. Lelah. Padahal aku bukan kura-kura, tapi seakan menggendong cangkang kosong yang isinya berusaha aku tarik keluar, tapi tetap kosong.
Secangkang penuh angan dan mimpi, rasa sakit bercampur kenyataan yang pahit, egoisme berkolaborasi dengan kebebasan, akulturasi antara cinta dan dunia, reaksi dari segala suasana hati dan pikiran, juga ingatan yang selalu kamu ulang-ulang inti ceritanya, menggulung-gulung di ruang cangkang tanpa udara. Tanpa mau dilupakan. Tanpa setitikpun bentuk padanya, tapi padat maknanya. Membuat semuanya terasa lamban dirasa, padahal sudah sekuat tenaga berlari secara paksa.

Kalau kamu memang mau ditulisi semua keluh kesahku atau segala sesuatu yang berkaitan dengan “dulu” milik kita, jangan cemas. Aku akan menulis itu semua. Percaya atau tidak semua yang aku ucapkan menjadi kenyataan.

Kamu selalu bisa membuka pintu dengan mudah, padahal sudah dikunci rapat-rapat. Memberi efek reaksi yang sama, padahal sudah kadaluarsa. Mencairkan dengan sinar hangat yang sama, padahal sudah lama beku. Menerbangkan kabut tebal seketika, membuka celah pada ruang sesak yang suram. Seperti membangkitkan kembali detak jantung yang berhenti, dengan irama yang sama, ketukan yang sama, tak pernah ada perubahan walau sudah divonis mati dan tak mau dihidupkan lagi.

Aku bingung, sebenarnya diantara kita siapa yang salah?
Dengan semua kejadian yang tidak pernah ada habisnya ini, aku selalu merasa kita berdua adalah dua orang bodoh yang selalu mengikat kuat perasaan, saling tarik-menarik, tapi tak kunjung kendur. Keduanya memang sangat bodoh, keras kepala. Saling tidak mau melepaskan apa yang mereka jalin sekarang. Tidak mau keluar jalur dan kecipratan caci maki alam semesta. Dua orang bodoh yang sama-sama mengaku suka, tapi enggan bersatu. Enggan beranjak memecah balon-balon zona yang sedang nyaman-nyamannya menjadi bulat. Padahal dua orang bodoh itu berdiri bersebrangan, dalam pijakan kaki lurus sejajar, mengurung diri dalam sangkar tanpa jeruji segarispun.

Bodoh.

Dunia memang kejam kalau sudah mencibir. Melecehkan ungkapan yang telah terlontar dari mulutmu. Jika kau tahu apa maksudku. Ya... prinsipmu itu. Terlalu kelu lidahmu untuk mengatakan yang sejujurnya bahwa memang pada kenyataannya masa lalumu tidak buruk dan kamu kadang mempunyai harapan yang besar untuk kembali. Tapi kukuhmu tidak membiarkan itu. Seolah menentang garis lurus yang tak boleh jadi bengkok sekuku pun.
Kamu memang tidak pernah mau mengaku. Tapi aku tahu kamu juga menyesal. Menahan sesak dan mencoba lupa. Menguatkan diri untuk tetap bertingkah mulus tanpa ada cacat. Tapi bayanganku ada dibelakang, dan kamu selalu menoleh untuk itu. Tanpa harus berkelok pun sebenarnya kamu bisa. Tapi martabatmu bagai memberi lampu sorot dari arah depan, mengajakmu secara kasat untuk berhenti menggunakan hati.

Kembali ke dua orang bodoh yang sama-sama menyiksa diri. Giliran aku yang juga tak mau kalah. Benar adanya ingin membuktikan bahwa aku bisa, mau, maju, tanpa kamu. Seolah mencari sosok yang baru, yang bisa jadi apa mauku. Sayang mereka sama... Tidak beda sepertimu.

Iya.
Ucapan yang menjadi kenyataan itu adalah kamu, dengan kebedaanmu itu. Kamu memang beda. Jauh berbeda dari semua rasa yang pernah aku cicipi. Semua panorama yang pernah aku tatap. Semua benda yang pernah aku genggam. Semua wewangian yang pernah aku sesap. Semua rumah yang pernah aku pijak. Semua hati yang pernah aku kasihi.

Tak berbentuk dan berwujud. Begitu saja mengalir bolak-balik menyusuri arus pikiranku. Kamu itu apa, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kamu memang benar berbeda. Entah bagaimana mendeskripsikannya.. kamu seperti gumpalan yang bisa berubah-rubah setiap saat. Detik ini datang membuat senang, kemudian pergi membawa hati. Lebih rumit sampai tak terdeskripsikan, lebih mudah sampai bingung mau mendeskripsikan yang mana.

Menarik bukan? Mengulas kembali sesuatu yang dianggap sudah mati padahal belum satu napas pun ia lewati.

Aku tahu sekarang kamu sedang terkaget membaca ini, mungkin setuju, malu, mungkin tahu, mungkin mengiyakan seratus persen benar adanya. Atau malah mungkin merasa tersinggung, sinis, merasa tidak seperti itu, dan seolah tergebrak tanda ketidak setujuan. Semuanya terserah padamu. Apa yang aku rasa, aku lihat, aku dengar, dari semua kubikel-kubikel kecil disekitarku melemparkan kertas-kertas isyarat itu. Satu persatu muncul dan terlintas begitu saja. Maaf kalau semua yang aku tahu, dan aku rasa, tidak selaras dengan apa yang kamu tahu, dan kamu rasa.

Tapi kukira... sedikit banyaknya, kita sama.


 -----

Pra-novel untukmu.

Seketika aku jadi merasa berdosa dan sepertinya telah melakukan sesuatu yang salah besar... (lagi)
Aku kini terikat dengan entah siapa hati ku pun tidak menggubris. Keinginan semata untuk mempunyai pendamping yang bisa memberikan kenyamanan dan memfasilitasi apapun yang aku butuhkan, kenyataannya jauh dari kenyataan. Bukannya aku tidak mensyukuri, benar apa kata orang... waktu yang kusesap terlalu cepat bersamanya.

Aku masih buta akan sosok ini. Siapa dia dan darimana asalnya aku tidak paham. Keadaan memaksaku untuk memilih pilihan diantara pilihan lain yang tidak muncul. Keinginan untuk bertahan karena malu pada dunia aku pegang erat kini. Aku malu atas keputusan yang telah aku buat. Atas pilihan yang aku tunjuk. Aku salah. Salah besar sepertinya.

Aku tak tahu kenapa hidup bisa menjadi sesulit ini karena hal sesepele ini. Otakku rasanya tak mau berhenti berputar memainkan segala bentuk kesalahan yang aku perbuat, mempermainkannya seolah memang aku pantas diobok-obok seperti ikan hias incaran para bocah berandal.
Aku merasa sangat salah telah menuruti semua apa kata nafsuku yang memburu untuk mengikat seseorang dengan angan yang terlampau jauh akan sosok baru yang bisa lebih baik dari sebelumnya. Ternyata jauh lebih parah dari apa yang aku duga. Lagi-lagi sepertinya aku salah langkah.

Tidak dipungkiri kalau aku mencintainya lebih dari apapun saat ini, tapi cinta ini untuknya tidak senyata itu. Mungkin memang berjumlah banyak, tapi tak satupun dari partikelnya jelas berbentuk kasih sayang. Dunia memang selalu menipu manusia dengan mengasatkan mata kepala. Dengan giuran kebahagian duniawi yang begitu menusuk ke dasar perasaan. Memberikan secercah fatamorgana yang lekat dengan mata, tapi tak bisa teraih dengan tangan. Hanya daya khayal yang mampu merajuk. Fana.

Aku masih belum tau kenapa aku mencintainya saat ini. Aku kira, aku mencintainya karena aku sedang menginginkan seseorang untuk aku cintai. Aku kesepian. Aku kehilangan. Sosok-sosok yang aku rindukan telah menemukan kebahagiaannya masing-masing. Dengan kekongkritan atau tidak, aku tidak bisa membedakan.. yang terlihat olehku hanya satu persatu dari mereka yang hilang ditelan oleh kehidupan baru yang tercipta bersama hawa lainnya.

Aku ingin dengan lapang mencintainya. Dengan partikel dan atom yang utuh dalam wujud nyata berbentuk kasih sayang yang sesungguhnya. Ingin benar-benar merindukannya, bukan sekedar hanya butuh pelukan atau dorongan motivasi yang mengada-ada. Bukan karena aku sedang ingin mencintai dan ingin dicintai, melainkan tanpa alasan, tanpa batasan, tanpa keraguan, aku ingin bersamanya karena memang benar cinta itu ada.

----

Kembalinya masa lalu yang menciptakan suasana ragu semakin membuatku bingung. Terus terang... aku bingung. Goyah pada diriku sendiri. Benar adanya bahwa aku tidak percaya atas apa yang aku tuju. Tujuan hatiku tak jelas. Rabun sampai ia sangat gelap. Abu-abu membelit misterius, berkabut menyelimuti keikhlasan yang berubah haluan menjadi ambisi. Salah paham dengan semua yang terjadi di dunia ini membuat isi hatiku terkoyak-koyak. Melaju tanpa alur kesana kemari mencari-cari siapa yang sebenarnya aku inginkan.
Kembali aku diterpa keadaan gusar. Apakan benar aku salah pilih? Ataukan benar pilihanku, tapi salah waktu? Rencana Tuhan memang kadang mengejutkan. Dan kadang tak begitu aku bisa terima dengan leluasa. Keluh kesah kadang aku lontarkan, ketika keputusanNya adalah satu hal yang sama sekali tidak ada kemiripan dengan apa yang aku prediksikan. Tuhan kadang memang kejam dalam urusan mengoyak hati dan iman manusia, tapi itulah keadilanNya dalam memberi cobaan.

Semakin goyah kepercayaan ini terhadap kasih sayang yang samar-samar aku coba perjelas. Masa lalu memberiku ruang untuk melangkah mundur. Mengingat tentang keadaan dibelakang yang nyatanya harus aku akui lebih baik dari masa sekarang. Aku ingin mundur. Lepas dari semua kehendak yang aku tak suka ini. Kembali kebelakang dan mencoba memperbaiki apa yang salah.
Melayang-layang diudara bagaikan setitik debu yang kasat mata. Tak terlihat, bahkan tak tersentuh oleh kepekaan indera manusia. Tapi aku tahu bahwa itu ada. Itu... disitu.. selalu disitu... selalu menyebut namaku dalam rasa sesal yang tiada berakhirnya ia ucapkan.

Tapi tunggu...
Tunggu... aku melihat masa depanku, dan melihat masa depanmu. Disana. Masing-masing disamping kita. Kita... tidak bisa.

Sama sama terjebak dalam masa depan yang memborgol . bisa saja direntang sampai putus, tapi siapa mau hancur. Aku dan masa depanku, masalaluku dan masadepannya. Bergandeng tak tentu, mengaku satu tapi semua hanya bual. Bohong. Bukan. Kita yang satu. Bukan aku-masadepanku, ataupun masalaluku-masadepannya. Harusnya kita.

Beranjak dari segala romansa pilu ini. Katamu. Seandainya bisa, aku juga ingin berhenti. Tapi nyatanya tidak bisa. Harus bergerak maju dijalan masing-masing yang tak tahu sampai kapan harus kita lakoni. Terlalu kuat mata ini saling menatap tajam. Terlalu erat tangan ini saling mencoba melepaskan. Tak bisa. Tak semudah itu berpisah dengan kesan masa lalu yang buruk, yang mengaku buruk, dan berharap menjadi sesuatu yang bukan lagi buruk. Tapi salah waktu, salah.

Terlanjur basah tercebur dengan separuh hati yang lain. Separuh yang bukan separuh. Separuh yang tidak bisa dikatakan nyata, tapi bukan juga rekayasa. Terpaksa harus memerankan peran masing-masing dengan baik. Sehingga dimata jagat raya, kita luar biasa. Tampak tak ada gores setitikpun menyongsong hari bersama masa depan masing-masing yang baru. Tapi sama-sama teriris pilu saling memandang membayangkan kalau itu kami yang melaju.

Entah sampai kapan akhir dari masa lalu ini terkuak. Memberantas semua kisah pahit dan manis yang tak kunjung mendeteksi rasa nyata hasil perbuatan semua kerancuan ini. Siapa yang berhenti memanggil, siapa yang berhenti menarik, siapa yang berhenti berusaha, siapa yang berhenti jatuh cinta. Siapa? Belum tahu.
Kapan? Tidak tahu.

Tak pernah harus selalu berbicara. Dengan fasih koneksi yang menghantarkan. Berhenti atau tidaknya bisa dirasakan. Tapi sejauh ini garis itu belum terputus. Guncangan itu belum terbujur kaku. Terang itu tak pernah berhenti memancar. Selayak mercusuar yang selalu terjaga, gelapnya dunia, pejamnya mata, dan matinya rasa, tak pernah sekuat ini mendeteksi perasaan yang ditimbun begitu dalam. Karena seberapa dalampun semua itu terkubur, kita saling membangkitkan tak mau mati.





ps: menulis tercepat. rekor 2 halaman dalam waktu 8 menit. hebat.

Selasa, 01 April 2014

Dalam


Aku ingin terpejam saja
Tanpa harus melihat barisan huruf itu merangkai namamu
Aku ingin terpejam saja
Tanpa perlu aku berhadap muka dengan sosokmu

Aku ingin terbenam saja
Sehingga tak harus menyesap segenap aroma tubuhmu
Aku ingin terbenam saja
Sehingga tak harus mendengar mereka berucap sepatahpun tentangmu

Aku ingin tenggelam saja
Agar rasa kasih ini mati kehabisan napas
Aku ingin tenggelam saja
Agar kenangan lalu terkubur jatuh jauh ke dasar

Aku ingin meredam saja
Berhenti berangan tentang keabadian
Aku ingin meredam saja
Berhenti berharap tentang masa depan

Aku ingin terpejam
Aku ingin terbenam
Aku ingin tenggelam
Aku ingin meredam

Sayang beribu sayang... Perasaanku terpaku begitu dalam.

--- 270214

Senin, 31 Maret 2014

Cukup

Tidaklah sejengkal aku mematung
Tidaklah selangkah aku berhenti
Tidaklah sedetik aku berbalik
Tidaklah sekali aku menoleh

Cukup

Mematung aku tak lagi
Berhenti aku berharap
Berbalik aku terlalu muak
Menoleh aku mengucap pamit

Cukup

Selamat tinggal. 



31-03-14--

Sabtu, 01 Maret 2014

Cerita Bahagia

Kumulai dilembar baru
Masih putih mulus tak terjamah
Menggores tinta memahat cerita seru
Tanpa keluh tanpa kesah

Karena ingin aku beranjak
Tanpa sungguh berbalik lagi
Ini kisahku aku yang berhak
Ada atau tanpamu rupanya cukuplah semua elegi

Ini dia hari anyar
Ingin ku ubah, semua berubah
Meluap-luap rasa lega berkobar
Ya, kini ku tahu saatnya sedihku selesai sudah

Bahagia aku berbahagia
Tutur doa senantiasa ku hembus menelusuk ragamu
Sepintas rasa rindu tetap setia
Hanya saja kini ku hentikan lamunan semu

Beginilah rangkaian huruf itu tersusun
Mengembanglah merah senyumku seketika
Keinginan bahagia bukanlah di timbun
Tapi diwujudkan bukan dengan replika

Kini aku menulis cerita bahagia
Agar aku berhenti mengawan harap
Jelas aku menulis cerita bahagia
Ialah kau lukaku yang berhenti ku ratap

---280214

Senin, 24 Februari 2014

Berhenti terbit

Aku dan kamu bermusuh waktu
Mengapa?
Karena kita terhalang ragu

Aku dan kamu bertemu kaku
Mengapa? 
Karena kita terhalang pilu

Aku dan kamu berpisah tak mau
Mengapa?
Karena kita menimbun rindu

Aku dan kamu berharap satu
Apa?
Matahari terbit yang berhenti bertamu. 

22-02-2014

Sabtu, 22 Februari 2014

Jatuh


Dengan tangan kaki terikat
Gugurlah jatuh satu demi satu
Menghantam lembut saling bertabrakan
Berhamburan bersapa bergesek nyaring

Hilang asa ia pasrah
Menganut tangan angin untuk bergerak
Jauh rasanya menerawang ke atas
Ketika jatuh terperangkap

Di tempat itu ia melamun
Karena langit tak sebiru banyu
Porak poranda dilalap awan gelap
Terkena amarah sang halilintar

Satu demi satu tergantikan oleh yang baru
Sosok daun baru melambai hijau
Daun gugurpun hanya berkaca pada kekuningan
Tanpa sepatahpun ia tersenyum

Kamis, 13 Februari 2014

Lekat.

I still thinking about me.
About you.
About us.
And what we could be.

After all this time, can we fix it? Can we take that second chance? Can we? 


Mencoba aku untuk tidak peduli. Dengan semua angan semu yang mencoba memanah dan menjadikanku sasaran empuk. Berusaha tak melamuninya di setiap detikku yang kosong. Berusaha agak aku tak lagi terjerembab dan berakhir dengan luka yang serupa. Tapi datangnya kamu, kamu dengan berjuta-juta suratan yang tersirat
Semu. 
Muncul bagai letupan debu. Terlihat, tapi samar. Terasa tapi tak tergenggam,
Abu.
Kembali dengan secercah cahaya,  menembus benteng hitamku yang mengemas rapat akan semua tentangmu. 
Rancu.
Hati ini melonjak-lonjak merintih melihat setitik harapan yang samar kau tunjukan tapi kau tarik kembali karena adanya dia yang bersandar di bahumu.
Palsu.
Kasarku ku jejal menyesak ke lubuk. Andai aku cukup berani menantangmu, menunjuk tajam telunjuk ini ke arah wajah yang selalu bertamu di mimpiku itu, untuk sekedar mengharap sang pasti.

 Aku atau dia. Siapa? 

Sayang, mampuku hanya mematut memangku dagu menunggu. Mengubur lagi memori fana yang sempat kau korek dan bangkitkan.
Sejenak.
Mudah ucapmu berkata sesal, mengajakku mengingat kita dari asal. Dan pada akhirnya kalah lah benteng kokohku, tumpukan patahan hatiku yang telah ku susun ulang. Detik ini. Terus kau meyakinkan aku untuk tetap tinggal. Dengan mata penuh sesal. 

Detik ini. 
Tidak lagi.

Kembali kau dengannya. Membuatku kini menyusun ulang pondasi membatas diri, membenteng antara aku dan kamu bermaksud agar aku tahu diri. 
Hancur.
Muak aku percaya, lelah aku terima, omong kosong dan harapan memang tipis terlihat beda. 
Hebat.
Kau.

Lekat. 



Minggu, 15 September 2013

Part 10.

Persahabatan itu bisa bermula darimana saja. Kapan saja. Dimana saja. Dan dengan siapa saja.

Berawal dari hobi yang sama..
Dari sumber yang sama..

Tapi dengan perbedaan sifat dan tingkah laku, malah kemudian jadi semakin dekat.

Usia memang tidak akan menjadi patokan untuk mengukur kedewasaan, tapi dengan tercantumnya angka 1 dan 7, dengan sendirinya pribadimu akan terus mencoba terbiasa untuk melakukan sikap dewasa yang positif.

Bertambahnya nominal usiamu bukan berarti kamu semakin dekat dengan kedewasaan dan terlepas dari segala masalah yang kini sedang atau mungkin telah kamu hadapi. Tapi ini semua adalah awal untukmu menuju kehidupan yang sebenarnya.. 



Minggu, 11 Agustus 2013

Tanpa Judul Sepatahpun.

Aku berpikir dalam diam. 
Aku bertanya saat bungkam.

Mengapa sulit selalu terasa saat aku mencoba berhenti dan berbalik. Terlalu lekat rasanya mataku tak henti menatap ke satu arah. Terasa bising di telinga saat sederet kata itu mengalun. Menusuknya wewangian harum itu menjorok hidung. Sering kali kelu lidahku saat akan mulai berucap. Keram genggaman ini menarik tanganku untuk tak lepas. Terlalu berat kaki ini untuk melangkah menjauhi. Berlimpah cinta dalam hati ini akan wujud yang tak pernah menghargai cinta.

Terlalu sering aku berharap bahwa semua ini nyata. Tapi kenyataan tak pernah bisa berkata. Atau hanya aku saja yang terlalu buta.

Lelahnya batin dan pikiran yang tak henti berkecamuk saling membela perasaan satu sama lain. Mencoba untuk pulih dan lupa tapi masih terlalu pagi.

Seperti siang yang berlari ke arah malam. Seperti malam yang menyambut pagi. Seperti pagi yang menyajikan teriknya panas matahari. Siklus memang tak pernah bisa berubah. Ataupun tidak akan bisa aku merubah.

Terlalu perih rasanya bertahan. Terlalu naif bila harus melepaskan. Letih rasanya terus duduk berpangku tangan menunggu. Tiada hadir sedikitpun kau tampak. 

Terus bergelut dengan ke abu-abuan membuat sesak semakin parah. 
Bukan cinta namanya bila tak harus berkorban. Tapi tak pernah aku rasakan pengorbanan.

Apakah diluar sana pengorbanan harus dibayar dengan nyawa? Lalu aku serahkan hati yang telah mati ini, yang terlalu sering berkorban untuk terus mencintai. 

Seperti api yang terus menyala, kadangkala gelap lebih berkuasa. Tiadalah hal yang sempurna, apalagi aku yang tampak dengan mata. 

Berusaha selalu dicoba untuk hampir dekat dengan sempurna. Menghargai, mengerti, dan sabar ialah kunci dari ratusan rantai yang tergembok. 

Kembali ke abu-abu yang menyesakkan kalbu. Membuat semua indera mati rasa saat terucap kata semu. Sesemu dirimu. 

Terlalu mudah mengucap manis dan janji. Terlalu mudah percaya dengan menanti.

Ingin aku lepas dari sangkar tak berjeruji. 

Terlalu banyak kata tak tersampaikan di pikiran ini. Membayangi setiap langkah mundur yang susah payah ku jalani. Membawaku kembali melaju teracuni manisnya janjimu. Anganku terkabuti kisah sebentar kita yang biru. 

Langkahku dan langkahmu kian tak teratur. Membarikade pergerakan, saling menghalangi satu sama lain. Bagai melewati bara api yang memisahkan dua wujud yang ingin bersatu. Berdua kita bersikukuh pada tujuan masing-masing, tapi tak mau sedikitpun berpaling. 

Bukanlah aku yang meminta, bukanlah aku yang berharap. Tapi tiada anugerah yang lebih dari sekedar bisa mengerti kerancuanmu. 

Jika bukanlah masing-masing kita menyatu, lalu mengapa sampai kini kita tak pernah bisa jauh? Jika bukanlah masing-masing kita menyatu, lalu mengapa sampai kini kita selalu menggulung rindu?

Tak tahu sampai kapan aku menunggu dalam abu-abu. Tak tahu sampai kapan abu-abu akan berevolusi menjadi tak saru. 

Jika kau ingini aku dalam tidurmu, tunjukan pada bulan yang seringkali merindu. Jika kau ingini aku dalam hidupmu, tunjukan pada aku yang perlahan meragu. 

Kamis, 01 Agustus 2013

#CeritaDariKamar

Awalnya, gue memutuskan untuk pergi keluar sambil ngabuburit. Tapi ternyata, gue liat timeline-nya @benzbara yang ngajak followersnya untuk bikin cerita tentang 1 benda atau 1 hal yang ada di kamar lo selama 1 bulan agustus ini.
Gue sebagai followersnya Bara dan seorang tweople yang aktif juga baru tau kalau Bara ternyata seorang penyiar. wow.. Btw, gue juga (calon) penyiar. Gue lagi dalam masa training di salah satu radio besar di Bandung, kalau Bara kepo, langsung aja cek http://www.ardanradio.com atau @ArdanRadio. :) hehgehe...

Jari-jari gue mulai kikuk karena udah beberapa bulan ini vakum nulis. Biasanya gue juga sering banget mengungkapkan apa yang gue rasain di blog, kegiatan gue yang mulai numpuk jadi menghambat tulisan dan rencana gue untuk bikin buku sendiri. Hmmm... Semoga bisa cepat terealisasikan deh, dan semoga kalau Bara baca blog gue ini, buku gue bisa meluncur dan bersanding sama bukunya Bara. Hahahah.. never mind deh :p

Gue mulai memutar otak, benda apa yang bakal gue ceritain... sama sekali gak ada ide. Tapi seketika gue ngeliat 1 vas bunga yang kosong di meja belajar gue. Yang awalnya tempat dimana gue menaruh bunga (sampai jadi bangkai bunga) yang dikasih sama mantan gue. Tapi... Sekarang, bunganya udah gak ada. Bukan gue buang, tapi gue balikin ke mantan gue beserta hal-hal yang bersangkutan dengan dia.

Entah kenapa, kebiasaan gue untuk "mengembalikan" barang-barang yang sudah si mantan kasih atau barang yang mengingatkan gue dengan dia sudah mendarah daging. Gue termasuk cewek yang susah banget move on, apalagi kalau diingetin barang-barang yang ada hubungannya sama seseorang yang masih gue sayang, makin stuck-lah gue. Maka dari itu, gue balik-balikin semua barang-barangnya.

Sesi pengembalian ke mantan gue yang ke-2 sukses berat, karena gak lama setelah itu gue langsung bangkit lagi dari nangis-nangis dan murungnya gue. Tapi sesi pengembalian yang ke-3 ini agak sedikit mandek. Gue juga bingung, biasanya setelah gue ngembaliin semua barang yang berhubungan dengan mantan gue, semuanya berangsur membaik, tapi... Anehnya gue malah makin stuck sama mantan gue yang 1 ini. Padahal banyak orang bilang, dia gak lebih baik dari 2 mantan gue yang sebelumnya, malah lebih buruk dari sikap dia yang seenaknya ninggalin gue. Dia juga seringkali datang dan pergi selepas kita putus. Gue semakin bingung sama apa maunya dia.

Dari awal kita putus, sebenernya gue baru sadar beberapa minggu kebelakang, kalau ternyata gaada kata "putus" yang keluar dari masing-masing bibir kita, di chat pun nihil. Gue digantungin. Sampe sekarang. 1 bulan setelah putus pun dia masih ngucapin happy anniversary. yaa... konyol memang, namanya juga anak muda, pasti setiap bulan rutin ngucapin kan?

Dia seperti gak mau kehilangan gue, tapi gak mau punya ikatan apapun sama gue. Dia menahan gue untuk tetap tinggal, tapi dia sama gak mau terbebani sama gue. Seperti dia meminta gue untuk jadi rumahnya, tapi dia gak tinggal di rumah itu dan malah luntang-lantung diluaran. Setiap kali gue hampir suka sama orang lain, move on, bahkan gue sempet mau jalan sama orang lain dan BOOM! dia dateng lagi. Gue merasa kaya diawasin, dipantau, tapi dibiarin bebas setelah tau gue ada dalam batas amannya dia.

Yang gue tau, selama ini, baru dia kaya gini sama cewek. Dan cewek itu adalah gue. Gue bahkan kayak punya ikatan batin sama sebagian keluarganya karena gue adalah cewek pertama yang dia bawa ke keluarganya. Gue gak tau kenapa, tapi gue selalu dapet feeling untuk tau apa yang dia maksud, apa yang dia tuju, apa yang dia mau. Gue merasa, sampai saat ini, baru gue yang bisa mengerti dia, sifat kekanak-kanakannya, sifat kebebasannya. Gue gak pernah mengerti seorang cowok sedalam gue mengenal dia. Padahal, kalau mau dibandingin, gue sama 2 mantan gue yang sebelumnya kenal lebih dari setengah tahun, bertahun-tahun malah, tapi sama dia? 2 bulan doang.

Jujur, baru kali ini gue bener-bener stuck.
Stuck dalam artian bukan di 1 pihak aja, tapi di 2 pihak. gue dan dia, sama-sama stuck. Kita kayak yang sama-sama bingung harus kemana, kita sama-sama gak mau ngulangin kesalahan yang sama, tapi kita juga sudah merasa nyaman satu sama lain, karena dari masing masing kita, gak ada satu sifatpun yang disembunyiin. Tapi kadang, dia sering banget nutupin apa yang dia mau ungkapin, gue jadi pusing sendiri karena sikap dia yang tiba-tiba jadi menutup diri. Yang gue liat, dia sebenernya cari perhatian, tapi... cari perhatiannya... mirip banget sama anak kecil. Padahal dia 2 tahun lebih tua diatas gue, tapi sifat kekanak-kanakannya seperti 5 tahun dibawah gue.

 Seringkali, janji dia sama gue sering gak jadi, gagal. Gue tau alasan-alasan dia itu cuma mimik doang, sebenernya dia udah buat janji sama temennya lah, atau cuma sekedar nuntasin game PS atau main dotA. Dia masih kayak anak kecil banget, dia masih belum bisa jadi apa yang gue mau, tapi cuma dia yang bisa bikin gue lebih sabar, lebih dewasa, dari sikap kekanak-kanakannya itu.

Gue pengen banget bisa bikin dia lebih dewasa dari sekarang, bisa lebih menghargai apa yang dia punya, apa yang ada di sekelilingnya. Gue pengen banget bisa bikin dia lebih serius dari hidup dia yang segala dibawa santai. Emang bagus sih kalau punya sifat santai, jadi ya gak bakal terlalu ribet kalau ada sesuatu yang sedikit destroy his life, tapi.... sometimes, dia juga sering menggampangkan semua hal dari sifat santainya itu. Memang sampai sekarang belum keliatan efek sampingnya, tapi gue takut suatu saat, dia dikasih liat imbasnya sama Tuhan.

Kalau boleh jujur sih, sebenernya gue cape gini terus... Dia sama sekali gak pernah mau mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, di hatinya. Dia terlalu gengsi dan terlalu men-"entar-entar"kan segala sesuatu hal. Gue sempat membanyangkan bagaimana jadinya kalau gue beneran move on dari dia. Bukannya kepedean, tapi... gue rasa dia bakal kehilangan gue. Bakal kehilangan orang yang bisa mengerti dia. 

Gue gak tau sampai kapan gue dan dia berada di posisi ini terus, kita sama-sama gak mau pisah, tapi.... ketidak adaan status antara gue sama dia selalu jadi penghambat dan jadi penghancur konsentrasi gue. Gak ngerti deh, gue masih terus membiarkan arus yang dia buat membawa gue terombang-ambing, gue masih mengumpulkan kekuatan untuk berani bertanya sama dia atas apa yang dia mau atau... stop dan pergi.

Hal kayak gini emang gak bisa dingertiin sama otak yang pake logika. cuma bisa dingertiin sama hati yang punya rasa cinta...

Gue kembali melihat vas bunga yang ada di meja belajar gue dan cuma bisa berharap yang terbaik untuk gue dan dia. Hmmm... Mungkin masih akan terus begini, sampai salah satu diantara kami ada yang maju, atau mundur.

Karena cinta bukan soal baru, atau lama. Cinta itu... dimana kamu bisa merasa nyaman tanpa berusaha.





Selasa, 28 Mei 2013

Karena dari 1001 pertanyaanku, jawabannya hanya 1... Kamu.

Aku bingung. bagaimana bisa aku terus-terusan berdiam diri mematung menunggui kamu untuk berbalik arah dan kembali padaku lagi? Bagaimana bisa aku bersikukuh seperti ini? Apa alasanku? Mengapa aku masih mengharapkan orang yang belum tentu mengharapkanku?

Aku masih terbelit bingung. Bingung karena sikapku sendiri yang masih saja selalu memperdulikanmu. Yang masih saja terus berkutat dengan hal-hal yang kamu suka. Padahal kamu sendiri terlihat acuh, tak mau peduli, dan seakan ingin lupa tentang kamu, yang dulu. Bersama jejakku dan kita di masa lalu. Begitu banyak pertanyaanku tentang kamu. Kamu yang begitu gelap, tersembunyi, dan samar-samar. Kamu begitu abu-abu. Begitu tak terdeteksi apakah hitam atau putih. Apakah jelas atau buram. Kamu seperti noda, hilang tapi tak benar-benar terhapus jejaknya.

Ya, aku tahu. begitu terlihatnya kamu yang masih belum mengerti tentang siapa aku, bagaimana sifatku, dan apa kekurangan dan kelebihanku. Kita terlihat sama. Tapi ternyata jauh berbeda. Dan kamu... Ya, kamu.. Tak pernah mau bertanya. Tak pernah mau ingin tahu tentang aku.

Aku merasa berbeda. Jauh berbeda setelah aku mengenalmu. Setelah kita bertemu. Setelah kamu dan aku bersatu. Aku merasakan ikatan yang begitu erat. Entah mengapa, sampai sekarang aku percaya bahwa sesuatu telah meracuni aku, dan kamu.

Sesungguhnya, ikatan apa yang telah kau buat sedemikian rupa? Sehingga aku hanya bisa terpaku di tempat menyakitkan ini berharap kau memutar arah kebelakang, kepadaku. Sampai detik ini, meskipun kau telah memutuskan untuk pergi, yang ku rasa adalah kau tak benar-benar pergi. Kau masih mengikatku, membawaku kemana yang kau mau. Menyeretku kesana-kemari sesuai nuranimu dan yang ku lihat, kau pun begitu. Aku masih merasa tersangkut padamu. Entah gembira atau petaka... Tapi yang ku rasa adalah kau dan aku masih saling rindu satu sama lain. Tapi kita terhalang benteng ketakutan. Dimana kau takut tak sebebas kini, dan aku tak seleluasa sekarang.

Iya... kita saling rindu. Kita saling mau. Tapi kita berpikir buntu untuk kembali bersatu. Aku bukanlah cendekiawan yang mampu menembus pikiranmu, tapi mana ada hati yang bisa berbohong? Dari setiap uraian kata-kata yang kau tuliskan, kulihat kasat keinginanmu untuk kembali seperti dulu, tapi kau terlalu munafik untuk mengakuinya.

Aku tak akan pernah merenggut kebebasanmu. Selama itu membuatmu bahagia. Aku tak akan pernah menggubris ketenanganmu, selama itu membuatmu tak sengsara. Aku mungkin egois tapi hanya denganmu aku bisa belajar untuk mengikhlas. Aku mungkin pemarah tapi hanya denganmu aku bisa belajar untuk bersabar.

Aku si terang dan kau si gelap. Aku yang terus mencari kegelapan untuk dipancari sinar terang tapi kau yang gelap terlalu betah berada di dalam sana. Tapi suatu saat, kau si gelap akan membutuhkan aku si terang seredup apapun itu. Karena tanpa terang, kau tidak akan tahu apa itu gelap. Dan tanpa gelap, kau tidak akan tahu apa itu terang.


Aku masih yakin, ada sesuatu hal yang membuatku tetap tinggal, dan sesuatu hal itupun yang membuatmu sering menengok kebelakang. Pertemuan yang singkat mungkin memang tak melahirkan kisah yang banyak. Tapi dari pertemuan singkat ini aku menyadari bahwa dari 1001 pertanyaanku yang sampai sekarang belum terjawab, kamulah yang bisa menguraikan. Karena jawabannya ada 1, dan itu hanya kamu.

Sabtu, 09 Maret 2013

Cewek Duluan? Why Not.

Kalau bicara soal emansipasi dan "ladies first", pasti cewek selalu mempergunakan hal-hal itu untuk membela atau menyelamatkan diri. Ya... wajar. Untuk itulah fungsinya.

Tapi kalau udah bicara soal cinta, biasanya cewek pasti pingin selalu "didahului" oleh cowok.
Betul? Ngerasa?

Mungkin cowok suka jadi sebel sama cewek karena cewek yang selalu mau cowoknya melakukan ini itu ini itu duluan, contohnya menghubungi duluan, telfon duluan, ngajak ketemu duluan, ngucapin selamat pagi, selamat malam duluan, and another sweet things. Tapi kalau gak dipenuhi, cewek biasanya suka ngambek dan hal itu yang bikin cowok kehabisan "energi" untuk menghadapi cewek.

Menurut pandangan cewek, cowok yang melakukan apa-apa duluan itu terlihat sweet, terlihat fighting for her, dan terlihat sayang banget sama dia. Mungkin kadang, hal sesepele ini juga bisa bikin hubungan 1 pasangan jadi sedikit tidak harmonis. Dan kebanyakan, hal ini bikin cewek-cewek jadi agak-lebih-sedikit manja dari sebelumnya.

Sebaliknya, dari pandangan cowok, saat ceweknya minta diperhatiin dan minta "apa-apa duluan" mereka awalnya senang, karena merasa dianggap dan merasa satu-satunya yang selalu memperlakukan ceweknya seperti itu. Tapi, pada akhirnya, si cowok jadi merasa gak diperhatikan dan jadi males untuk memperlakukan ceweknya dengan treat yang gitu-gitu terus. Cowok juga pingin diperlakukan seperti apa yang dia lakukan buat ceweknya. Akhirnya si cowok merasa gak diperhatikan sama ceweknya. Dan hal ini yang biasanya bisa bikin cowok jadi cepat bosan sama hubungannya.

Sebetulnya, baik cewek maupun cowok sama-sama memnginginkan 1 hal, sama-sama ada yang memperhatikan, sama-sama ada yang menyemangati, sama-sama dibikin merasa nyaman. Namanya juga manusia yang pasti masing-masing punya keinginan tapi... mungkin belum bisa dipenuhi sama pasangannya. Nobody is perfect, right?

Siapa sih yang gak mau diperhatiin terus-menerus sama pasangannya. Sayangnya, siapa yang tahan bekerja non-stop kalau gak dikasih makan? So, setiap hubungan pasti harus selalu seimbang. dimana satu memberi, dan yang satu lagi menerima dan memberi feedback balik. Tapi kadang, hubungan timbal-balik ini sedikit-agak macet karena salah satu "keenakan" dengan treat yang "tidak biasa".

Sama halnya dengan... putus. Kadang, cewek pasti lebih milih mutusin daripada diputusin. Dan jahatnya cowok, kebanyakan "gak tega" sama ceweknya dan nunggu untuk diputusin. Cowok biasanya melakukan hal sebaliknya dari apa yang diinginkan cewek biar ceweknya dengan lebih cepat bisa "mengakhiri" hubungannya.

Tapi dari sisi cowok, mereka lebih suka untuk bikin si cewek jadi benci sama dia daripada harus terlihat "kasar". Hal itu mungkin lebih baik daripada harus menyakiti ceweknya terlebih dahulu dengan kata-kata yang sebenernya biasa aja tapi bisa bikin cewek gak makan berhari-hari. "Kayaknya.. kita temenan aja deh"

Mungkin bagi yang udah pernah nonton RadioGalauFM, khususnya cowok, agak sedikit was-was atau mungkin deg-degan, bahkan menyesal atau takut. Ketika rasa "bosan" itu sudah pergi dan lo kepalang mutusin cewek lo, dan kemudian lo pingin balikan tapi sayangnya... Cewek lo sudah terlanjur move on. Beda cerita ketika si cowok sebenarnya kangen, pingin balikan, tapi gengsi. Padahal si ceweknya juga masih sayang dan tetap menunggu.

Sebenernya, gak ada salahnya ketika kita, cewek, ternyata mengetahui bahwa si mantan ternyata masih sayang lalu ternyata lagi kangen sama kita, dan kita sendiri masih belum mau dan belum bisa move on dari dia, menghubungi dia duluan. Sah-sah aja ketika kita juga sebenernya kangen sama dia. Tapi sayangnya, baik cewek maupun cowok kadang masih memiliki sifat gak penting seperti "gengsi". Saat kita takut akan hasil atau jawaban yang gak sesuai sama keinginan kita dan akhirnya... menanggung malu, sedih, dan sakit hati.


Sampe sekarang, jujur, gue juga masih takut untuk menyapa dia duluan. bahkan gue yang masih terus memendam harapan untuk balikan pun tetep gengsi saat temen-temen gue nyuruh gue untuk meminta balikan duluan sama mantan gue. Gue terlalu naif, tengsin dan ya itu tadi.. takut dengan hasilnya, yang bisa jadi gak sesuai dengan apa yang gue inginkan. Tapi merupakan sebuah kemajuan buat gue ketika suatu hari gue dengan beraninya menekan tombol enter dan mengirim message "Ich vermisse dich" yang dalam bahasa indonesia berarti "aku kangen kamu" ke dia. Sayangnya, message gue cuma dia read. Tapi, gue benar-benar merasa lega ketika tahu bahwa message gue di read sama dia. At least dia tau apa yang gue rasakan buat dia.

Sampai sekarang juga, gue masih belum bisa sekedar ngobrol biasa sama dia. Untuk memulaipun gue masih kesusahan, harus cari topik apa, bicara soal apa, dan mendorong dia ke arah mana supaya sedikitnya dia tau apa yang gue rasain, gue maksud dan dia bisa terpancing untuk akhirnya bisa membahas kita yang sampai sekarang masih sama-sama gengsi dan sebenernya masih sama-sama sayang. Pada akhirnya lagi-lagi gue anggap semua kejadian, rasa, dan feeling gue ini cuma keinginan yang kebetulan terjadi. Lalu dia yang cuma sebatas kangen sama gue. Gak lebih. I won't say anything, I won't think it deeply. Cause I won't turn back hoping.


Tapi, kenapa sebelum tau hasil yang sebenarnya kita udah duluan mundur? Kenapa kita gak coba? Kenapa kitra sebagai cewek harus selalu menunggu dan gak bisa memulai duluan? Kenapa cewek harus berakhir lemah dan cowok yang selalu terlihat menang dan berhasil membuat cewek jatuh cinta sama mereka? Kenapa kita, cewek gak bisa kayak gitu? Cewek berhak memulai duluan, cewek berhak menyapa duluan, cewek berhak menyatakan perasaannya duluan, cewek berhak mengajak balikan duluan, sebelum semuanya terlambat dan cewek cuma bisa lagi-lagi menyesal karena gak pernah bikin cowok yang dia sayang tau apa yang cewek rasain buat si cowok Kita gak akan tau hasilnya kalau kita sendiri belum mencoba. Cewek duluan? Why not?


Mungkin, untuk saat ini gue masih terlalu munafik untuk menyembunyikan semua yang gue rasain. Tapi ketika suatu saat gue udah siap, gue, sebagai cewek akan memulai semuanya, duluan.
 

©2013. with ♥ from Mirsha Shahnaz Azahra.