Ketika mengingatmu, aku jadi seringkali menyesal. Menyesal karena
aku yang terlalu tidak sabar untuk menunggu, terlalu buru-buru untuk pergi. Atau hanya sekedar menyesal, tidak mengucapkan selamat tinggal lebih awal.
Yang pada akhirnya membuat aku semakin terjerumus jauh terlampau dalam. Kedalam pusaran "kita" yang tak kunjung berhenti menyedot ingatan sampai suara rongga udara terdengar ketika semuanya sudah habis terserap.
Kamu memang tidak pernah tau sedih dan perihnya semua ini seperti
apa, yang kamu hanya tahu, kamu salah, aku luka dan sudah.
Aku terus memutar ulang sesuatu yang sebenarnya tak perlu
aku bongkar lagi. Seperti kucing dalam karung yang meraung ingin terlepas keluar harapkan meraup oksigen yang melimpah ruah.
Semua yang kurasa sudah, cukup,
berakhir, dan ku buang jauh ke dasar, seketika meluap bagai lahar panas gunung
merapi. Membludak begitu saja, mendadak menguap mencari perhatian, tak mau
terlupakan, panas menyecar kedalam hati
dan membuatnya jadi naik tergenang di mata.
Sulit terungkapkan bagaimana semua itu terus-terusan ingin
diperhatikan, ingin dikuak kembali, ingin diingat lagi dan lagi.
Aku tidak tahu harus menuliskan apa, yang mana, bagian
apalagi? Kurasa cukup mudah untukmu menebak apa yang aku pikirkan.
Sebenarnya lelah otakku bekerja mengakali semua kejadian
yang tak mau aku anggap benar adanya ini. Terlalu malas untuk kembali didorong
masa lalu dan terus tak jelas meloncat-loncat diatas trampolin. Selalu kembali
kamu yang memulai, dan sepertinya setelah itu kamu kemudian menyesal karena
seharusnya tidak melakukannya. Tapi terlanjur. Dan kamu berusaha untuk menyudahi dengan cara... Melupakan dan minta dilupakan.
Yakin bisa?
Yakin bisa?
Kamu dan otakmu yang kontra. Kamu dan hatimu yang pro. Yang selalu
mengelak ketika sebenarnya jawabanmu adalah setuju. Kamu yang selalu mendasari
semua dengan otak. Otak. Otak. Berpikir keras bagaimana supaya bisa menang
mutlak atas apa yang ingin hati lakukan, tapi sering kali kamu hanya terjun ke
pusaran kegagalan. Lagi-lagi kelepasan. Batinmu.
Aku kesal, kadang marah pada diriku sendiri. Jujur, aku
selalu terlihat bodoh dalam masalah ini. Selalu bisa luluh dengan semua
kejujuranmu yang polos. Entah benar atau tidaknya, akupun ragu. Ragu karena
sebenarnya mau, tapi takut. Takut karena aku tahu kamu. Bagaimana kamu.. Seperti
apa kamu..
Perasaanmu yang mengalahkan ringannya kapas terombang-ambing
di udara bersama tujuan yang entah kemana, membuatku merasa harus benar-benar waspada
atas apa yang kamu lontarkan. Tentang perasaanmu yang katanya begitu melulu. Terhadap
aku.
Aku tidak mau mati menyesal hanya karena terlambat
mengucapkan apa yang ingin aku ucapkan, mengetahui apa yang aku tidak ketahui,
menyadari apa yang seharusnya aku sadari. Aku sama sekali tidak peduli dengan
sikap menghindarmu atau ketuk palu penolakanmu, tidak peduli. Meskipun sebenarnya
ada rasa takut kalau pada akhirnya aku lagi aku lagi yang kembali harus menelan
fakta pahit.
Apakah kita yang serumit drama? Atau drama yang menyamai
rumitnya kita? Kembalinya kamu yang selalu membuka obrolan tentang “dulu” yang
ada kita didalamnya sudah cukup membuatku mual untuk mengingat semua rasa yang pernah dikecap. Ulasan tentang satu kata yang bisa menyedot kembali aku
kedalam lubang waktu yang berlari mundur mengikuti alur.
Aku ingat semua, jangan khawatir. Aku hanya berusaha tidak
ingat. Bukan tidak mau ingat, tapi terus-terusan mengingatnya akan membuat
otakku diketuk-ketuk sampai pecah oleh semua pertanyaan “kenapa” yang tajam.
Mengingatnya membuat semuanya terasa berat. Lelah. Padahal aku
bukan kura-kura, tapi seakan menggendong cangkang kosong yang isinya berusaha
aku tarik keluar, tapi tetap kosong.
Secangkang penuh angan dan mimpi, rasa sakit bercampur kenyataan
yang pahit, egoisme berkolaborasi dengan kebebasan, akulturasi antara cinta dan
dunia, reaksi dari segala suasana hati dan pikiran, juga ingatan yang selalu
kamu ulang-ulang inti ceritanya, menggulung-gulung di ruang cangkang tanpa
udara. Tanpa mau dilupakan. Tanpa setitikpun bentuk padanya, tapi padat
maknanya. Membuat semuanya terasa lamban dirasa, padahal sudah sekuat tenaga
berlari secara paksa.
Kalau kamu memang mau ditulisi semua keluh kesahku atau segala
sesuatu yang berkaitan dengan “dulu” milik kita, jangan cemas. Aku akan menulis
itu semua. Percaya atau tidak semua yang aku ucapkan menjadi kenyataan.
Kamu selalu bisa membuka pintu dengan mudah, padahal sudah
dikunci rapat-rapat. Memberi efek reaksi yang sama, padahal sudah kadaluarsa. Mencairkan dengan sinar hangat yang sama, padahal sudah lama beku. Menerbangkan kabut tebal seketika, membuka
celah pada ruang sesak yang suram. Seperti membangkitkan kembali detak jantung
yang berhenti, dengan irama yang sama, ketukan yang sama, tak pernah ada
perubahan walau sudah divonis mati dan tak mau dihidupkan lagi.
Aku bingung, sebenarnya diantara kita siapa yang salah?
Dengan semua kejadian yang tidak pernah ada habisnya ini,
aku selalu merasa kita berdua adalah dua orang bodoh yang selalu mengikat kuat
perasaan, saling tarik-menarik, tapi tak kunjung kendur. Keduanya memang sangat
bodoh, keras kepala. Saling tidak mau melepaskan apa yang mereka jalin
sekarang. Tidak mau keluar jalur dan kecipratan caci maki alam semesta. Dua orang
bodoh yang sama-sama mengaku suka, tapi enggan bersatu. Enggan beranjak memecah balon-balon zona yang sedang nyaman-nyamannya menjadi bulat. Padahal dua orang bodoh itu berdiri
bersebrangan, dalam pijakan kaki lurus sejajar, mengurung diri dalam sangkar
tanpa jeruji segarispun.
Bodoh.
Dunia memang kejam kalau sudah mencibir. Melecehkan ungkapan
yang telah terlontar dari mulutmu. Jika kau tahu apa maksudku. Ya... prinsipmu
itu. Terlalu kelu lidahmu untuk mengatakan yang sejujurnya bahwa memang pada
kenyataannya masa lalumu tidak buruk dan kamu kadang mempunyai harapan yang besar
untuk kembali. Tapi kukuhmu tidak membiarkan itu. Seolah menentang garis lurus
yang tak boleh jadi bengkok sekuku pun.
Kamu memang tidak pernah mau mengaku. Tapi aku tahu kamu
juga menyesal. Menahan sesak dan mencoba lupa. Menguatkan diri untuk tetap
bertingkah mulus tanpa ada cacat. Tapi bayanganku ada dibelakang, dan kamu
selalu menoleh untuk itu. Tanpa harus berkelok pun sebenarnya kamu bisa. Tapi martabatmu
bagai memberi lampu sorot dari arah depan, mengajakmu secara kasat untuk
berhenti menggunakan hati.
Kembali ke dua orang bodoh yang sama-sama menyiksa diri. Giliran
aku yang juga tak mau kalah. Benar adanya ingin membuktikan bahwa aku bisa,
mau, maju, tanpa kamu. Seolah mencari sosok yang baru, yang bisa jadi apa
mauku. Sayang mereka sama... Tidak beda sepertimu.
Iya.
Ucapan yang menjadi kenyataan itu adalah kamu, dengan kebedaanmu itu. Kamu memang beda. Jauh berbeda dari semua rasa yang pernah aku cicipi. Semua panorama yang pernah aku tatap. Semua benda yang pernah aku genggam. Semua wewangian yang pernah aku sesap. Semua rumah yang pernah aku pijak. Semua hati yang pernah aku kasihi.
Ucapan yang menjadi kenyataan itu adalah kamu, dengan kebedaanmu itu. Kamu memang beda. Jauh berbeda dari semua rasa yang pernah aku cicipi. Semua panorama yang pernah aku tatap. Semua benda yang pernah aku genggam. Semua wewangian yang pernah aku sesap. Semua rumah yang pernah aku pijak. Semua hati yang pernah aku kasihi.
Tak berbentuk dan berwujud. Begitu saja mengalir bolak-balik
menyusuri arus pikiranku. Kamu itu apa, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya
kamu memang benar berbeda. Entah bagaimana mendeskripsikannya.. kamu seperti
gumpalan yang bisa berubah-rubah setiap saat. Detik ini datang membuat senang,
kemudian pergi membawa hati. Lebih rumit sampai tak terdeskripsikan, lebih
mudah sampai bingung mau mendeskripsikan yang mana.
Menarik bukan? Mengulas kembali sesuatu yang dianggap sudah
mati padahal belum satu napas pun ia lewati.
Aku tahu sekarang kamu sedang terkaget membaca ini, mungkin setuju, malu, mungkin tahu, mungkin mengiyakan seratus persen benar adanya. Atau malah mungkin merasa tersinggung, sinis, merasa
tidak seperti itu, dan seolah tergebrak tanda ketidak setujuan. Semuanya terserah
padamu. Apa yang aku rasa, aku lihat, aku dengar, dari semua kubikel-kubikel
kecil disekitarku melemparkan kertas-kertas isyarat itu. Satu persatu muncul dan terlintas begitu
saja. Maaf kalau semua yang aku tahu, dan aku rasa, tidak selaras dengan apa
yang kamu tahu, dan kamu rasa.
Tapi kukira... sedikit banyaknya, kita sama.